Menjelang tanggal 21 April berpuluh tahun lalu, saya selalu galau. Esok upacara, semua teman memakai kebaya sementara saya tidak. Ibu tidak memiliki cukup uang untuk menyewa kebaya dan membayar salon. Jadilah saya berada di barisan opsi ke dua, memakai busana muslim. Ketika pawai, kami akan berdiri di baris belakang, tertutup gemerlapnya pakaian adat warna warni yang lebih dulu melaju.
Pihak sekolah selalu memberi kelonggaran bagi murid-murid yang tidak memakai pakaian tradisional untuk memakai busana muslim. Saya kesal dan jengkel. Kesal karena sebagai anak kecil, saya tidak bisa terlihat seperti teman-teman yang lain dan jengkel karena pihak sekolah kala itu tak memberi cukup ruang bagi kami yang tak memiliki cukup uang untuk menjadi kartini. Begitulah pikiran seorang anak yang masih berseragam merah putih.
Begitulah masa kecil saya di hari kartini, selalu memakai busana muslim karena tak mampu menyewa kebaya. Ketika mulai dewasa saya mulai berpikir, mengapa sekolah-sekolah selalu memperingati hari Kartini dengan memakai pakaian adat? Mengapa sekolah tidak mengajarkan bahwa yang terpenting dari Kartini bukan apa yang dipakainya tapi apa yang ada dipikirannya?
Meski tak memakai kebaya tapi sedari kecil saya suka menulis. Saya kecewa mengapa di sekolah saya tidak mengadakan lomba menulis untuk memperingati hari Kartini. Karena instruksi kebaya itulah saya selalu merasa tidak pernah menjadi bagian dari peringatan hari Kartini.Â
Bagaimana tidak, dalam peragaan busana adat tersebut, kami yang memakai busana muslim tak pernah ikut masuk ke dalam nominasi apalagi menjadi juara. Mereka yang cantik dengan kebaya dan bisa berjalan dengan lemah gemulai lah yang selalu berhasil membawa pulang piala.
Apa sekolah sekarang, masih ada yang seperti itu? Kalau masih saya sedikit takut, bagaimana jika ada anak lain yang merasakan apa yang dulu saya rasakan? Sementara sekolah yang seharusnya bisa menjadi media penyalur pikiran-pikiran bebas Kartini justru membelenggunya dengan balutan kebaya.
Makna perjuangan Kartini sangat luas, pada eranya ia berusaha membebaskan para perempuan dari belenggu-belenggu adat. Makna emansipasi pada era tersebut adalah penyamarataan hak terutama pendidikan bagi kaum perempuan. Seperti yang kita tahu, kaum perempuan Jawa di jaman itu masih dianggap di bawah laki-laki dan tidak diberi hak untuk memperkaya diri. Â Kiprahnya hanya diukur dari dapur, kasur dan sumur.
Padahal menurut saya, emansipasi, kesetaraan, kebebasan hanyalah atribut sementara perjuangan untuk bergerak ke arah yang lebih maju dan menuju ke peradaban yang lebih baik adalah esensinya. Jika begitu maka spirit perjuangan kartini bisa bertransformasi lintas jaman dan kondisi. Dari sini makna perjuangan Kartini menjadi sangat luas. Artinya sejauh ada orang yang berjuang untuk membawa perubahan menuju ke arah yang lebih baik maka sejauh itu ia bisa disebut Kartini.
Contohnya saja di masa pandemi ini, Kartini tidak lagi memakai kebaya tapi APD. Tak peduli apakah mereka perempuan ataukah laki-laki. Dengan terus mengingatkan bahwa Kartini berkebaya maka jalan untuk laki-laki yang ingin meneruskan perjuangan Kartini seolah buntu. Kartini ada di setiap perjuangan jaman. Semangat dan pikiran-pikirannya melewati batas jaman dan lintas profesi. Siapapun bisa menjadi Kartini di jamannya.
Dari sekian banyak pejuang pandemi, saya salut dan respect kepada para pejuang medis yang berani memasang badan, bertaruh nyawa di garis depan. Dialah pemilik semangat dan inspirasi Kartini di masa pandemi. Jika ada pemilihan pemenang, merekalah pemenangnya. Tak terhitung jumlah perawat serta dokter yang harus kehilangan nyawa demi bertarung dengan Covid 19. Duka kami sedalam-dalamnya untuk mereka. Para pahlawan, para Kartini, para avangers kami.
Terima kasih, kalian Kartini sejati. Terimakasih atas dedikasi terhadap profesi kalian. Terima kasih sudah berjuang untuk kami. Terima kasih sudah menjadi Kartini di abad ini. Salam.