Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Blogger - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencari Cinta di Celah Wajah Lelah Jakarta

18 Januari 2020   00:23 Diperbarui: 18 Januari 2020   11:55 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : doc.pribadi

"Kelak saya bersedia tinggal di mana saja, asal bukan Jakarta!"  Begitu pikir saya sebelum pada akhirnya menikah dan bermukim di Jakarta. Aneh memang, hal-hal yang tak diingini malah sering terjadi.

Tinggal dan pindah ke Jakarta bukan perkara mudah. Gambaran ibu kota yang kejam sudah terpatri dalam benak saya sedari kecil. Isu-isu seperti kemacetan, kriminalitas dan banjir langganan membuat orang enggan memilih Jakarta sebagai kota impian.

Selain sebagai pusat negara, Jakarta juga memikul beban sebagai pusat bertemunya segala masalah. Tidak hanya ketiga isu yang sebelumnya disebutkan, sebagai Ibu kota, Jakarta juga banyak menampung banyak keluhan, baik berupa demonstrasi yang "baek-baek" hingga yang berujung anarkis.

Dalam kacamata saya, wajah Jakarta terlihat sudah begitu lelah, pula wajah-wajah penghuninya. Orang-orang Jakarta terlihat berbeda, cenderung individualis, mudah marah dan kurang sabaran ketika di jalan raya. Mungkin itu adalah buah dari segala duka dan lelah si ibu kota.

Belum lagi soal kualitas udara Jakarta yang disebut-sebut tidak ramah manusia. Kompas.com mencatat, pada 6 september tahun lalu udara di ibu kota kita berada pada peringkat 2 paling buruk di dunia dengan tingkat polusi 160, di bawah Hanoi, Vietnam. Isu polusi hanya menambah jajaran permasalahan yang harus di tanggung Jakarta.

Kondisi yang ada membuat proses perpindahan yang harus saya lalui terasa semakin berat. Setiap hari saya hanya mengeluh, mengapa saya bisa terdampar dan harus tinggal di kota ini?! Dan setelahnya, pertanyaan yang sering muncul adalah, mengapa saya sulit untuk bahagia?

Ada yang berkata agar bisa bahagia kita harus bisa berdamai dengan keadaan, dan untuk itu terlebih dulu harus bisa berdamai dengan diri sendiri. 

Dari situ, saya mulai mencoba mencari celah Jakarta. Mencoba membuka hati dan melihat Jakarta dari sudut yang lain.

Ternyata tinggal di Jakarta tidak buruk-buruk amat. Di tengah segala kepadatan, rupanya kota ini menyimpan akses jutaan informasi dan ilmu pengetahuan. Jakarta memiliki banyak perpustakaan termasuk salah satunya adalah Perpusnas yang terletak di Jalan Medan Merdeka dan merupakan perpustakaan tertinggi di dunia dengan jumlah lantai 24.

Tak hanya menyimpan buku-buku, Perpusnas juga difasilitasi free wifi agar pengunjung bisa mengakses berbagai informasi. Di sana juga terdapat ruang baca anak, ruang baca lansia dan penyandang disabilitas serta berbagai koleksi audiovisual. Jika sudah terdaftar menjadi member, maka kita bisa menggunakan fasilitas nonton film gratis yang jadwal dan judulnya sudah ditentukan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun