Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Administrasi - irero

Sedang mencari celah waktu untuk membaca buku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bapak Tua Penjual Rambutan, Haruskan Kita Membeli Karena Kasian?

13 Januari 2020   18:05 Diperbarui: 13 Januari 2020   18:12 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dekat tempat pemotongan ayam, tak jauh dari tempat saya bermukim, ada seorang bapak tua yang usianya mungkin sama dengan ayah saya. Kedua bola matanya hampir putih merata. Saya tak tahu apakah keduanya masih berfungsi normal, semi normal ataukah sama sekali tak bisa difungsikan.

Hanya saja, ketika saya tanya "apakah Bapak punya kembalian?" Beliau balik bertanya, "memangnya uang Adek berapa?" Tanpa mengindahkan uang 50 ribuan yang sedari tadi saya sodorkan. Ketika itu saya sadar, penglihatan si Bapak sudah tidak baik.

Bapak tua berjualan rambutan, memang lagi musim. 3 ikat ia patok harga 25 ribu rupiah, satu ikat berarti cuma 8 ribu rupiah.

"Jangan ditawar, ya," saya ingat pesan suami sedari awal sebelum kami mendekati tempatnya berjualan. Saya pun tak menawar.

Si Bapak akhirnya bilang, "sepertinya saya ada kembalian, Dek," sembari merogok saku dan memberikan tumpukan uang receh tanpa menghitungnya. "Adek hitung saja kembaliannya, kira-kira cukup tidak, kalau kurang bilang saya."

Saya hitung hanya ada 24 ribu rupiah. "'Cukup kok, Pak. Pas uangnya."

Ketika itu saya merasa trenyuh dan kasian. Si Bapak dengan kondisi penglihatan seadanya berjongkok di pinggir jalan dengan beberapa ikat rambutan. Entah sudah berapa lama ia berada disitu, tanpa pembeli. Mungkin juga saya adalah pembeli pertamanya.

Di perjalanan saya terus kepikiran, bagaimana kalau ada orang jahat yang sengaja mengerjainya. Memberikan uang 2 ribu dan berkata itu 50 ribu. Berpikir seperti itu membuat saya semakin khawatir dan resah. Tiba-tiba saya kepikiran tentang ayah saya, bagaimana jika Bapak itu adalah ayah saya, yang diusia senjanya masih harus keliling berjualan sembari panas-panasan.

Kami terdiam di sepanjang perjalanan.

"Apa kita perlu balik?" kata suami tiba-tiba seraya menghentikan motor kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun