Hobi membaca dan menulis sudah seperti jaminan kebahagiaan untuk saya. Saya selalu menganggapnya begitu. Keduanya adalah proses yang sangat menyenangkan serta membahagiakan.
Saya tumbuh dan  besar dari kesederhanaan. Jaman di mana internet dan sosial media belum familiar.  Keterbatasan ekonomi membuat saya dekat dengan perpustakaan. Saat di mana teman-teman menjajankan uang sakunya, saya harus merasa cukup menghabiskan waktu istirahat sekolah dengan buku-buku bacaan.
Saya membaca ketika lapar, sedih dan tak memiliki banyak kawan untuk bermain. Sebutlah, masa kecil saya berhutang banyak kepada buku-buku bacaan. Â Karena mereka, kebahagiaan masa kecil saya terselamatkan.
Semakin lama saya semakin menyukai membaca, hingga saya dewasa, berkeluarga dan pastinya saya harap sampai tua. Buku-buku adalah teman yang baik, Â seperti kata Ernest Hemingway "there is no friend as loyal as a book."
Tak berbeda dengan membaca, menulis adalah buah hasil dari membaca. Semasa kecil saya memulainya dengan menulis diary, puisi dan sesekali cerpen. Dalam kamus hidup saya, keduanya tak dapat dipisahkan.
Memiliki hobi artinya kita memiliki simpanan kebahagiaan. Dalam tahap itu sebenarnya saya kurang peduli, apakah saya harus mengeluarkan banyak uang ataukah melakukannya dengan gratisan.
Jika sebelum bekerja saya kerap ke perpustakaan untuk meminjam buku, maka sekarang beralih ke toko buku untuk menebus dan mengoleksinya. Perpustakaan pribadi saya ada di mana-mana, di rumah sendiri, di rumah orang tua bahkan di tempat mertua. Alasannya, ke mana pun saya singgah, saya tidak bisa jauh-jauh dari buku.
Semakin banyak koleksi, semakin tinggi biaya yang harus saya keluarkan. Jangan di hitung! Nominalnya bisa sama dengan rupiah yang harus dikeluarkan para perempuan yang hobi mengoleksi perhiasan. Buku-buku murah memang banyak, tapi yang berkualitas tentu tidak murah. Terlebih buku-buku impor yang dipatok dengan dollar.
Di era daring, membaca dan menulis bisa dilakukan tanpa biaya. Pasalnya banyak bacaan, referensi serta materi tersebar dan mudah diakses oleh siapa saja. Platform seperti storial.co, wattpat dan webton menjadi salah satu sasaran para pecinta novel dan komik. Sementara para penyuka artikel akan lebih sering mangkir ke kompasiana. Â
Namun kutu buku tak merasa cukup sampai disitu, banyak hal yang hanya bisa ditemukan di buku cetak, dan untuk itulah biaya masih saja diperlukan. Alasan lain adalah karena buku cetak memiliki aroma yang unik, dan saya gemar mengendusnya. Belum lagi, mereka terlihat mentereng ketika terusun rapi berjejeran yang memberikan kesan keren dan terpelajar kepada si pemilik.
Ketika muncul istilah "hobi yang dibayar", setiap orang tentu tertarik untuk tidak merasa bekerja seumur hidupnya. Itu juga berlaku untuk kedua hobi saya. Di samping harus menebus harga buku, 2 hal tersebut rupanya bisa menghasilkan rupiah. Caranya tentu bermacam-macam, mulai dari blogging, menulis novel, menjadi ghost writer, menulis cerpen, mengulas dan membuat resensi buku. Rupanya saya pun tertarik memulainya.Â