Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Blogger - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malaikat Bertanya (Cerpen Tragedi Mei 1998)

22 Mei 2018   18:24 Diperbarui: 22 Mei 2018   18:26 2708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tanggal mati? tanya malaikat
13 Mei 1998. Jawabku.
Alasan mati?


Rasanya aku ingin melewati saja pertanyaan ini!

Januari 1998

Perempuan itu mendekatkan wajahnya hingga hidungnya berjarak sangat dekat dengan kaca di depanku. Bola matanya berbinar tak berkedip mengikuti ke mana pun aku bergerak. Lalu, sebuah senyum riang nampak seiring saat ia berkedip. 

Ia berteriak riang, menghampiri Pak Tua yang sudah separuh abad dan segera memeluknya. Ia terlihat bahagia atas kedatanganku.

Sehari sebelumnya aku masih berkubang dengan keramaian dan bau. Pak Tua itu yang membawaku, memberikanku tempat tinggal yang lebih layak. Aku sudah biasa melihat wanita di pasar, wajah mereka tidak ramah. 

Cara mereka menawar seperti preman. Seolah 25 rupiah adalah soal hidup dan mati. Aku juga melihat wajah-wajah wanita yang gelisah di sekitaran toko baju, seolah ada ketidaksingkronan antara harapan dan kenyataan. Selebihnya adalah wajah-wajah tanpa tujuan, tak bergairah. Bagi golongan ini, hidup hanyalah sebatas pengguguran kewajiban.

Gadis yang sedang bersama Pak tua ini berbeda, matanya banyak bercerita. Menatapnya seperti menatap langit, luas, damai dan tanpa batas. Rambutnya hitam, pendek sebahu, kulitnya putih, matanya sipit. Saat ia tersenyum, saat itu aku jatuh cinta padanya.

Pak Tua adalah pemilik toko listrik. Ia dibantu seorang wanita paruh baya yang juga bermata sipit sama seperti gadis itu. Wanita tersebut banyak menyimpan kosakata. Jika sedang marah, ia bisa mengeluarkan kata yang mungkin seorang guru bahasa Indonesia pun tak mampu mencernanya. 

Pak Tua lebih suka berlalu ke ruangan lain ketimbang berharap wanita itu menyudahi kata-katanya. Aku menyebutnya Bu Poni Gulung karena poninya selalu digulung ke atas. Selain Bu Poni Gulung, pak tua juga punya 2 orang karyawan laki-laki yang tinggal tak jauh dari daerah ruko tersebut.

Saat pulang sekolah, si gadis akan langsung naik ke lantai 2, menaruh tas, melepas sepatu, kaos kaki lalu merebahkan diri sejenak di atas kasur berseprei biru laut. Usai memanjakan diri beberapa menit, ia akan mengganti seragam sekolahnya dengan kaos yang sedikit longgar dan celana pendek sepaha. Ia merapikan rambut, mengaitkannya di belakang telinga dan setengah berlari menuju tangga lantai bawah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun