Di tepi sungai Kapuas, tepatnya di Taman Alun Kapuas (Alun Kapuas Park), ada sebuah bangunan berupa rumah panggung dengan atap melengkung berwarna hijau dan hampir keseluruhan dindingnya tertutup kaca bening. Setelah saya masuk ke dalam, terkuaklah bahwa bangunan tersebut adalah sebuah Taman Baca.
Begitu masuk, buku tamu di sebelah kiri sudah menanti diisi. Di belakangnya, rak penitipan tas warna orange berdiri tegak. Tempatnya tidak terlalu luas tapi cukup nyaman.Â
Rak-rak buku berada di tepian, pojok kanan, kiri dan tengah. Sementara bagian tengah menjadi arena untuk membaca. Tinggal pilih, mau model lesehan atau duduk di atas sofa yang empuk.
Menurut informasi penjaga, Taman baca ini buka jam 8 pagi sampai 9 malam tanpa libur. Pemerintah rupanya berupaya menjemput bola, menjaring pembaca di daerah ramai, di mana banyak orang berkumpul. Tujuannya  tentu agar minat baca masyarakat Pontianak terus meningkat.
Data dari Tribunnepontianak.co.id  menyebut jumlah pengunjung Taman Baca Alun Kapuas di tahun 2017 mencapai 12.675 pengunjung. Artinya rata-rata pengunjung perhari sekitar 30 orang. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat.Â
Upaya mendekat dan menjaring pembaca seperti pendirian Taman Baca memang sangat perlu. Hal tersebut menindaklanjuti isu rendahnya minat baca. Kedekatan dan kemudahan akses tentunya akan mengurangi satu dari ribuan alasan untuk tidak membaca.
Isu rendahnya minat baca di negeri ini sudah sering hilir mudik di telinga kita, tapi isu tersebut rupanya kalah populer dibanding isu pemilu maupun kenaikan harga barang kebutuhan pokok.
Menurut duta baca Indonesia Najwa Shihab, minat baca di Indonesia hanya 0,01 persen pertahun dan berada di peringkat 60 dari 61 negara. Dari sana, berbagai upaya guna merangkul masyarakat sangat diperlukan. Bahkan kalau perlu setiap daerah wajib menjamin warganya tidak kekurangan bacaan.
Jika dilihat dari segi manfaat, rendahnya minat baca bisa dimungkinan karena masyarakat belum menyadari manfaat langsung dari membaca. Hal ini berbeda dengan isu kelangkaan dan mahalnya harga beras, bagi masyarakat jika beras tidak ada, mereka akan kelaparan, jika kelaparan kemungkinan mereka sakit, tidak bisa beraktivitas dengan baik dan paling parah, meninggal dunia.Â
Sementara isu seperti kelangkaan buku, sedikitnya jumlah judul buku yang terbit tiap tahun dan mahalnya ongkos beli buku bagi kebanyakan orang tidak berimbas secara langsung. Mereka tetap bisa beraktivitas, mencari nafkah, berwisata, dsb dengan ada atau tidak adanya buku. Kepahaman seperti itulah yang membuat isu buku menjadi tidak begitu penting. Imbasnya minat baca masyarakat pun kurang.