Radikalisme agama adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk mengubah pemahaman ajaran agama dalam suatu masyarakat dengan menempuh jalan tertentu dengan cara yang ekstrem dan bertujuan untuk membuat perubahan yang ekstrem. Gerakan ini dikatakan radikal karena lebih mengedepankan pemahaman liberal dan cenderung mudah menggunakan kekerasan dalam memaksakan pemahaman mereka. Bila dahulu gerakan radikalisme agama dalam menyampaikan ajarannya hanya melalui jalan revolusioner, seperti Jamaah Islamiyah dengan bom bunuh dirinya, dan terbukti gagal maka sekarang turut menggunakan cara baru yaitu jalan evolusioner. Beberapa kelompok ekstremis Islam di Indonesia telah muncul dan menyebabkan ketegangan dalam masyarakat. Kelompok-kelompok ini terkadang berusaha mempengaruhi orang-orang muda dengan propaganda yang meradikalisasi mereka, termasuk melalui penggunaan media sosial dan internet. Selain itu, ada juga beberapa kelompok radikal sayap kanan dan kiri yang memperjuangkan tujuan politik tertentu. Kelompok-kelompok ini memiliki keyakinan yang ekstrem dan terkadang menggunakan kekerasan atau aksi ekstrem lainnya untuk mencapai tujuan mereka.
Pada tahun 2023 lalu, mencuat sebuah video yang menggemparkan Indonesia tentang sebuah ajaran menyimpang yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Al-Zaytun, pondok pesantren terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Al-Zaytun merupakan sebuah pondok pesantren yang terletak di Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Â Gagasan pembangunan Ponpes Al Zaytun muncul sejak 1 Juni 1993, saat hari raya Idul Adha 1413 H oleh Yayasan Pesantren Indonesia (YPI). Dilansir dari laman resminya, pembangunan baru dimulai tiga tahun kemudian, yakni pada 13 Agustus 1996. Berselang tiga tahun, pada 1 Juli 1999, kegiatan pembelajaran pertama kali di Al Zaytun dilakukan. Kendati demikian, ponpes tersebut baru diresmikan pada 27 Agustus 1999 oleh Presiden Ketiga Indonesia, BJ Habibie.
Menurut BNPT, Al-Zaytun dianggap menyebarkan ajaran yang mengarah kepada ajaran radikalisme tetapi bukan terorisme. Anggapan ini muncul setelah mencuatnya sebuah video pelaksanaan shalat idul fitri yang diatur berjarak dan ada perempuan di antara saf laki-laki, muadzin yang tidak menghadap kiblat saat mengkumandangkan adzan, serta ajakan sang pemimpin untuk menyanyikan salam Yahudi bersama jamaah yang hadir. Selain itu, Pemilik Al Zaytun, Panji Gumilang juga pernah mengungkapkan pendapat kontroversial dalam khotbahnya terkait kitab suci umat muslim, Al-Quran. Menurutnya, Al-Quran bukan ucapan Allah SWT, melainkan karangan Nabi Muhammad SAW dari mendapat wahyu. Anggapan tersebut bukanlah hanya sebuah anggapan belaka, dalam beberapa video yang beredar di media sosial, banyak santri yang merupakan alumni dari Al-Zaytun membenarkan hal tersebut.
 Sejak berdirinya, pesantren Al-Zaitun memang diliputi berbagai misteri dan kontroversi. Pesantren ini disebut-sebut punya hubungan dekat dengan Negara Islam Indonesia (NII) besutan Kartosuwiryo pimpinan DI/TII yang diproklamirkan pada 1949. Hal ini dikarenakan pemimpin Al-Zaytun, Panji Gumilang, diketahui sebagai salah satu mantan Panglima Komando Wilayah (KW 9) sekaligus imam besar yang ditetapkan sebagai penerus Adah Jaelani NII setelah ia meninggal. Panji Gumilang adalah dulunya memiliki beberapa ajaran sesat, seperti ajaran tentang kewajiban hijrah kepada NII, dosa jamaah bisa ditebus dengan uang, keharusan untuk mendahulukan ajaran NII dibandingkan dengan shalat, dan sebagainya.
Lantas mengapa dengan banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang ada Al-Zaytun tidak dijerat hukum ataupun ditutup? Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan kasus yang terjadi di Ponpes Al Zaytun Indramayu, Jawa Barat tidak dapat diproses dengan Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Terorisme. Direktur Deradikalisasi BNPT Brigjen Pol. R. Achmad Nurwakhid mengatakan ajaran tersebut belum tergolong sebagai kategori terorisme.
Kekhawatiran menjadi sebuah tantangan besar bagi masyarakat dan negara Indonesia, apalagi radikalisme ini terjadi dalam lembaga pendidikan keagamaan dan tumbuh subur di dalamnya. Seharusnya, lembaga pendidikan dijadikan sebagai upaya pencegahan radikalisme yang paling utama dengan mengajarkan ilmu yang baik, bukan malah dijadikan tempat untuk menyebarkan paham radikalisme beragama. Untuk itu, diperlukan sebuah langkah tegas untuk memerangi radikalisme ini, baik dari diri sendiri, lingkungan masyarakat, maupun pemerintahan. Salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk memerangi radikalisme dari diri kita sendiri yaitu dengan menyaring setiap informasi yang didapatkan serta bisa membedakan ajaran mana yang baik dan tidak baik. Kontribusi dari masyarakat lingkungan sekitar, misalnya dengan berkomunikasi dan kerjasama dalam berbagai kegiatan sosial masyarakat akan menumbuhkan rasa percaya juga mengeratkan hubungan antar sesama, lalu mensosialisasikan ajaran agama yang santun, saling menghargai, saling menghormati, damai, toleran, hidup rukun, menerima keberagaman dan kemajemukan, memiliki rasa cinta tanah air dan bela negara serta ajaran agama yang Rahmatan Lil'alamin agar kelak penyebaran paham radikalisme agama dapat berkurang. Pemerintah juga memiliki andil dalam pencegahan radikalisme agama, yakni dengan membuat sebuah peraturan hukum yang tegas serta pengawasan yang ketat terhadap lembaga-lembaga yang berpotensi menjadi tempat penyebaran radikalisme.
Note: Teks ini dibuat untuk memenuhi tugas UTS Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H