Mohon tunggu...
andiemil fitrah ramadhani
andiemil fitrah ramadhani Mohon Tunggu... -

Pejuang Tangguh.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Korupsi Berkembang Secara Sistemik

9 Desember 2010   05:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:53 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Hanya yang bersih yang bisa membersihkan. Kita tidak akan pernah bisa membersihkan lantai dengan sapu yang kotor. Jadi kalau kita tidak mampu membersihkan lantai maka periksalah dulu sapunya, jangan-jangan malah sapunya itu yang membawa kotoran.” Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Korupsi yang sudah lama berjangkit di negeri tercinta ini, yang sudah menjadi penyakit kronis, berurat dan berakar dalam setiap sendi kehidupan kita, ternyata tidak datang begitu saja. Ia ada karena sudah mengalami proses belajar yang cukup lama. Telah banyak lembaga pengawasan yang dibentuk, namun korupsi juga kian menggila. Anehnya, perbandingan antara koruptor yang ditangkap dan jumlah korupsi yang ditengarai tidaklah sepadan sama sekali. Ibarat membandingkan semut dengan gajah. Percaya atau tidak, korupsi itu adalah hasil belajar seseorang dan kemudian diajarkannya lagi kepada orang lain. Begitu seterusnya sehingga korupsi ada dimanamana. Faktor utama perbuatan korupsi adalah manusia. Kwik Kian Gie pernah mengatakan seluruh upaya pemberantasan korupsi yang dibuat akan percuma, tidak akan efektif sama sekali jika factor manusianya dikesampingkan, jika tidak ada program yang berfokus pada perbaikan manusianya sendiri. Ali Syari’ati – sejarawan dan ahli sosiologi Islam terkemuka – mengemukakan pendapatnya mengenai intrepretasi hakikat kejadian manusia. Manusia menpunyai dua dimensi: dimensi ketuhanan (kecendrungan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah) dan dimensi kerendahan atau kehinaan (lumpur mencerminkan keburukan-kehinaan). Karena itulah manusia dapat mencapai derajat yang tinggi namun dapat pula terperosok dalam lembah yang hina, yang manusia dibebaskan untuk memilihnya. Atas kebebasan memilih tersebut, manusia bergerak dalam spektrum yang mengarah ke jalan Tuhan atau sebaliknya mengarah ke jalan setan. Manusia dengan akalnya sebagai suatu hidayah Allah kepada-Nya , memilih apakah ia akan terbenam dalam lumpur kehinaan atau menuju ke kutub mulia ke arah Tuhan. Dalam menentukan pilihan manusia memerlukan petunjuk yang benar yang terdapat dalam agama Allah, yang menyeimbangkan antara dunia dan akherat. Manusia disamping sebagai makhluk individu adalah juga makhluk sosial. Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci, putih bersih. Maka lingkungan lah yang akan membentuk kepribadiannya, menentukan jati dirinya. Apakah dia nantinya akan menjadi orang baik, yang akan banyak memberi manfaat bagi diri dan lingkungannya, atau sebaliknya dia akan menjadi orang jahat dan membawa kesengsaraan bagi orang lain. Semua itu ditentukan oleh pengaruh dari lingkungan dimana dia hidup bermasyarakat. Korupsi, mungkin pada awalnya hanya coba-coba, kecil-kecilan. Misalnya, belakangan ini penjualan Buah-buahan anda menurun karena berpikir bahwa harga yang dipatok terlalu murah. Sayang penjual disekitar anda menolak untuk menaikkan harga, sehingga apabila anda menjadi minoritas, menaikkan harga sekenanya, maka dalam pikiran anda, jualan anda tidak akan laku karena pastinya pelanggan lain tidak akan mendatangi kounter anda. Lalu dengan curangnya anda mengutak – atik timbangan agar setidaknya pelanggan membayar harga sekitar beberapa gram lebih banyak dari harga seharusnya. Dan berhasil pada kali yang pertama dan berniat untuk berhenti. Namun hal itu tidak dapat anda lakukan karena jika anda berhenti pada kali yang kedua, maka perbuatan jeleknya terdahulu akan terbongkar, pada akhirnya anda mempelajari bagaimana cara agar tidak ketahuan, bertanya ke kanan-kiri. Demikian seterusnya sampai akhirnya menjadi kebiasaan dan ketagihan untuk berbuat serupa, bahkan mengembangkan modus agar benar-benar tidak akan pernah terdeteksi. Dengan cara demikianlah korupsi berkembang di negeri ini. Awalnya tidak tahu, kemudian tahu karena terjun ke lingkungan yang memberinya informasi dan pengalaman tentang perbuatan korupsi, sampai akhirnya tergoda untuk melakukannya. Semua itu melalui proses yang namanya belajar. Kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, namun dampak negatifnya juga cukup besar berpengaruh pada kehidupan manusia secara keseluruhan. Sudah menjadi budaya dan kebiasaan, kadang kita sendiripun ga merasa kalau kita melakukan itu[korupsi] andiemil43fr

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun