Manusia hakekatnya diciptakan sebagai khalifah di muka bumi dan mengemban tugas mulia agar selalu menjaga keseimbangan di muka bumi. Risalah kenabian bagi agama-agama samawi selalu memberi pelajaran rasional bahkan sampai doktrin irasional akan tugas mulia manusia. Bagi separuh agama non-samawi dewa dianggap sebagai wujud ketuhanan yang selalu melindungi manusia dari segala kejahatan dunia. Terlepas dari semua doktrin agama dan aliran yang ada, semua mengarah pada keseimbangan dan kesinambungan kehidupan antara sesama manusia, alam dan sang pencipta.
Dahulu kala bila kehidupan sebuah masyarakat dalam kondisi kacau maka akan turun seorang nabi untuk bekerja sebagai sang pencerah bagi masyarakat tersebut. Kekacauan ekonomi, politik dan social serta spiritual akan menjadi domain bagi kerja-kerja kenabian. Ada nabi yang khusus untuk kaum tertentu dan ada nabi yang umum untuk semua golongan.
Di era modern seperti saat ini agenda turunnya nabi sudah tidak ada lagi. Semua hal ikhwal urusan dunia diserahkan kepada sang khalifah (manusia), “telah ku sempurnakan untuk kamu agama mu dan telah kucukupkan kepada mu nikmat ku, dan telah ku ridhoi Islam itu jadi agama mu” (QS Al maidah:3). Ungkapan dalam kitab suci ini mengisyaratkan akan sebuah amanah dan tugas yang harus diemban bagi manusia. Manusialah sebagai subjek dan pemeran utama yang harus bertanggung jawab agar menjaga keseimbangan antar sesama manusia dan alam. Olehnya setiap manusia adalah “khalifatul fil ard”.
Dalam konteks kehidupan social kemasyarakatan kita keharmonisan, kerukunan serta solidaritas antar sesama harus tetap dijaga sehingga keseimbangan social akan selalu utuh. Begitupun dengan system tata social kita. Dalam menjaga keharmonisan social itu masyarakat membutuhkan tatanan hierarki social baik tatanan adat dan pemerintahan, yang keduannya membutuhkan menejemen pengelolaan yang baik.
Untuk tatanan pemerintahan mulai dari tingkat paling bawah rukun tetangga (RT) sampai presiden semuanya harus bersinergi dengan baik sehingga tata kelolanya dapat berjalan efektif dan efisien. Agar dapat berjalan efektif dan efisien tersebut dibutuhkan sumberdaya manusia yang unggul karena pengelolaan pemerintahan selalu bersentuhan dengan berbagai materi dan godaan dunia. Olehnya diharapkan agar orang-orang yang di amanahkan mengelola pemerintahan adalah mereka yang minimal memiliki karakter kenabian. Orang-orang yang mau menjalankan praktik-praktik kenabian “profetik” yang bisa diandalkan untuk memimpin dan mengelola bangsa ini.
Indonesia 2014 ini akan menggelar pesta demokrasi untuk memilih pemimpin baik presiden, DPR/DPRD dan DPD. Semua mata akan tertuju pada ajang bergengsi ini. Setiap warga Negara memiliki hak untuk mencalonkan atau dicalonkan untuk menjadi presiden, anggota DPR/DPRD dan DPD. Sebagian lainnya berusaha untuk mempergunakan hak nya sebaik mungkin untuk memilih presiden, anggota DPR/DPRD dan DPD tersebut. Baik kontestan politik maupun pemilih semua berlomba-lomba untuk berjuang memilih dan dipilih oleh rakyat. Pertarungan politik di mulai, semua strategi dan taktik dijalankan demi kemenangan dan semua proses ini akan bermuara pada keterpilihan para pemimpin bangsa.
Kepemimpinan hakekatnya adalah amanah yang harus diemban dan dipertanggung jawabkan bukan hanya di dunia namun juga di akhirat. Olehnya suatu kepemimpinan itu harus menjadi beban bukan kesenangan dunia yang harus dinikmati. Belajar dari kepemimpinan khalifah Umar bin Abdul Aziz ketika ditunjuk secara aklamasi oleh rakyatnya untuk menjadi pemimpin maka beliau ber-istigfar bukan ber-syukur. Karena baginya kepemimpinan itu amanah yang amat berat yang harus dipertanggung jawabkan dunia-akhirat.
Berbicara kepemimpinan Indonesia 2014 mendatang yang bisa menjadi leader bagi 250 juta penduduk dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 28,07 juta orang atau 11,37 persen (BPS, maret 2013) dengan berbagai persoalan dan problematika yang kompleks ini, ditengah keterpurukan kondisi social, ekonomi, budaya yang karut marut idealnya adalah manusia yang diamanahkan sebagai nabi. Namun seperti yang penulis utarakan diatas bahwa berharap diutusnya seorang nabi di zaman serba modern ini adalah mustahil. Namun bukan berarti kita berkecil hati dengan kondisi ini karena bagaimanapun kita sebagai mahluk Tuhan sudah diamanahkan sebagai khalifah untuk segala macam urusan dunia. Olehnya maka seseorang atau sekelompok orang yang telah ditunjuk sebagai pemimpin melalui proses demokrasi pada dasarnya harus memiliki jiwa dan semangat kenabian. Sehingga mampu bekerja maksimal semata-mata bagi kemaslahatan warga bangsanya.
Harapannya pemilu kedepan ini dapat membawa angin segar bagi bangsa ini. Siapapun pemimpin itu kita berharap bisa mengelola dirinya agar cenderung mendekati jiwa kenabian itu. Atau minimal para pemimpin kita memiliki jiwa setengah nabi "semi-profetik" sehingga bisa menjadi pencerah bagi umat dan bangsa ditengah rumitnya persoalan hidup.
Pemimpin Progresif
Beberapa bulan yang lalu dunia kehilangan seorang yang dikagumi sebagai sosok pembebas, sosok yang gigih mempertahankan ideologi dan perjuangan menentang diskriminasi ras, sosok yang rela dipenjara puluhan tahun demi mempertahankan apa yang diperjuangkannya. Sosok tersebut adalah mendiang Nelson Mandela sang presiden Afrika Selatan. Sebelum Mandela berpulang, beberapa bulan sebelumnya juga telah berpulang seorang yang juga pejuang sejati bagi bangsanya, seorang yang terkenal selalu melawan penguasa dunia (Amerika), seorang yang tidak mau tunduk pada gerakan internasionalisasi ideology dunia yaitu kapitalisme. Dialah Hugo Chaves sang presiden Venezuela. Di negaranya kedua tokoh ini tergambar sebagai manusia setengah nabi, manusia-manusia yang jarang ditemukan pada era millennium seperti sekarang ini.
Oleh rakyatnya mereka adalah sang pencerah yang diutus Tuhan untuk berbagai masalah bangsanya. Para pemimpin progresif yang mau berada didepan sebagai panglima perang rakyatnya melawan segala hegemoni ras, budaya bahkan hegemoni ekonomi dan politik. Ditangan mereka semua kebijakan terkait kemaslahatan rakyat bertumpu. Rakyat jarang sekali melawan kebijakan mereka bukan karena mereka dictator atau tirani namun karena kebijakannya menjiwai nasib rakyatnya. Hal yang sama juga harusnya dapat ditunjukkan para pemimpin bangsa ini bahwa kepemimpinan itu pengabdian dan pengorbanan. Sehingga menjadi pemimpin itu bukan untuk gagah-gagahan atau untuk naik kelasdari kelas borjuasi menjadi kelas elit penguasa.
Di Indonesia, pasca era orde baru belum kita temukan pemimpin-pemimpin Negara sekaliber Mandela dan Chaves. Mungkin kita harus sepakat bahwa pemimpin kita di era reformasi masih standar-standar saja. Lantas, bagaimana dengan Indonesia kita akankah di pemilu dan pilpres 2014 ini bisa terlahir pemimpin setengah nabi?
Kita berharap agar pilpres kali ini dapat melahirkan para pemimpin yang baik, bijak, selalu tawaddu, amanah dan mau bekerja keras untuk bangsa dan Negara. Pemimpin “semi profetik” yang selalu bersama-sama rakyatnya membangun kejayaan bangsa.Kalau ajang demorasi 2014 ini dapat melahirkan pemimpin setengah Nabi maka bisa dipastikan bahwa bangsa ini akan menuju era dimana “ baldatun toyyibatu warobun ghofur” dapat terwujud. Semoga.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H