Apakah benar alam semesta ini ciptaan Tuhan adalah perdebatan yang tidak ada habisnya. Namun kita hanya bisa melakukan analisa tanpa bisa melakukan verifikasi lebih jauh. Dalam diskusi mengenai ada atau tidaknya Tuhan ini, saya pernah menjumpai sebuah perdebatan antara muslim dan atheis. Si muslim kemudian mengajukan fakta bahwa ternyata nomor atom besi jumlahnya sama dengan jumlah kata Allah di dalam Al-Quran. Ini kemudian dijadikan bukti bahwa tidak mungkin seorang badui di padang pasir arab mengadakan bualan semacam ini. Pasti ada the man behind the scene.
Bahasan mengenai mukjizat saintifik dalam Al-Quran pada banyak kasus tidak lebih dari sekedar kajian yang absurd. Hal yang mendasarinya adalah Al-Quran itu bukan kitab sains. Untuk membahas Al-Quran terlebih dahulu kita harus tahu sejarah dibalik penurunan Al-Quran. Kita tidak bisa secara apriori mengatakan bahwa semua “hal-hal aneh” yang terjadi selama penurunan Al-Quran adalah omong kosong (misalnya dengan menganggapnya sebagai bualan Ibnu Ishaq, Ibnu Haytam, Al-Tabari dll) lantaran adanya fakta-fakta sains yang kita temukan. Para ahli sejarah Islam sudah melakukan pengkajian secara komprehensif mengenai kejadian-kejadian yang melatarbelakangi penurunan Al-Quran (beberapa dari mereka adalah orang yang hafal seluruh isi Al-Quran). Hal yang paling maksimal yang bisa kita lakukan hanya sebatas mempelajari peninggalan mereka tersebut dan berprasangka baik terhadap mereka.
Salah seorang muslim berkata bahwa Al-Quran memaparkan secara detail peristiwa Big Bang: bahwa bumi dan langit pada awalnya bersatu sebelum kemudian dipisahkan. Big Bang sendiri adalah salah satu model yang diajukan ilmuan untuk menjelaskan asal-usul alam semesta. Sementara model hanya bisa bekerja berdasarkan ada atau tidaknya data penunjang. Bisa jadi di kemudian hari diperoleh data-data lain (semisal bencana ultraviolet kedua) yang kemudian merontokkan atau mengkoreksi pemahaman fisis kita saat ini (termasuk model Big Bang tersebut). Sehingga alih-alih Big-Bang, dicari lah model baru dalam menjelaskan asal-usul alam semesta. Dan kemudian ayat Big-Bang itu direinterpretasi kembali dan menghasilkan makna lain dari yang kita imani saat ini.
Secara teologi kita sudah diajarkan, bahwa yang paling tahu tentang isi Al-Quran itu hanya Allah dan Nabi Muhammad. Dan berdasarkan Hadits yang diriwayatkan ke kita, tidak pernah sekalipun Al-Quran itu membahas persoalan Big Bang. Justru pada ayat yang lain, malah Al-Quran mengatakan bahwa antara langit dan bumi itu terdapat tiang-tiang penopang (mudah-mudahan ilmuan muslim masa depan bisa menjelaskan maksud ayat ini). Dan pada ayat yang lain dikatakan lagi bahwa matahari berputar mengelilingi bumi yang kemudian diperkuat oleh penafsiran Nabi Muhammad mengenai alam semesta (bahwa matahari terbit di timur dan tenggelam di barat kemudian berjalan di bawah tanah untuk kembali lagi ke timur) yang dicatat oleh Shahih Bukhari dan diriwayatkan kepada kita. Nabi Muhammad sama sekali tidak pernah menyinggung soal Big Bang, namun anehnya kita bisa berbicara sampai sejauh itu mengenai makna ayat-ayat tersebut.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah kenapa angka 26 itu mesti dikaitkan dengan nomor atom besi? Nomor atom besi itu menandakan jumlah proton yang berada di dalam inti atom besi. Sementara proton (seperti halnya pada kasus Big Bang) merupakan satu dari sekian model yang diajukan para ilmuan untuk menjelaskan materi besi (dan kebetulan untuk saat ini itulah cara yang paling “benar”). Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa tidak atom besi sebagai sebuah kesatuan saja yang kita hubung-hubungkan dengan angka tersebut (bahwa materi besi tersusun oleh individu-individu atom besi)?
Kita tidak pernah melihat proton. Kita menyimpulkan bahwa besi disusun oleh proton lantaran ketika dilakukan sebuah eksperimen tertentu terhadap materi, terjadi sebuah fenomena tertentu yang teramati. Fenomena ini kemudian ditafsirkan dengan membuat model yang mengatakan bahwa di dalam atom besi terdapat sebuah inti atom dan inti atom ini tersusun oleh partikel bermuatan positif bernama proton. Kita tidak pernah melihat proton baik dengan mata fisis kita atau dengan mata batin kita. Karena ternyata mata kita juga disusun oleh proton (mana mungkin proton melihat proton…, bukannya itu sama saja dengan jeruk minum jeruk?).
Kemudian proton juga disusun oleh quark yakni dua top-quark dan satu down-quark, jadi total ada tiga. 3 x 26 = 78, lha… sudah ga sama dong dengan jumlah kata Allah di dalam surat tersebut. Kemudian besi sendiri memiliki beberapa isotop. Setahu saya ada 4 isotop besi di alam. Pertanyaanya adalah besi yang dimaksud di dalam Al-Quran ini isotop yang mana? Tolong pembaca yang paham bahasa arab bisa ga’ diterjemahkan bahwa “sebutan besi” di dalam Al-Quran itu merujuk pada isotop yang mana?
Besi itu unsur yang relatif reaktif yang sering dijumpai dalam bentuk Allotrof. Yang jadi pertanyaan besar untuk para sejarawan adalah apakah besi yang digunakan oleh masyarakat arab jaman Nabi Muhammad untuk membuat pedang, belanga dan berbagai macam keperluan itu besi murni (dengan nama kimia Fe) atau jangan-jangan besi dengan sekian persen pengotor? Kalo dia mengandung pengotor (dan itu yang dicantumkan di dalam Al-Quran) tentu saja pekerjaan kita dalam menghubungkannya dengan angka 26 ini sangat absurd. Ketika terdapat pengotor, secara umum rumus kimianya sudah berbeda (jumlah proton penyusunnya sudah lebih dari 26).
Saya pernah melihat di internet beberapa pusaka peninggalan Nabi Muhammad, antara lain pedang beliau dan sampai saat ini masih bagus (belum berkarat). Jika demikian halnya maka itu sudah pasti bukan besi. Karena besi unsur yang reaktif. Bisa jadi besi yang dimaksud oleh Al-Quran ini adalah baja. Jika demikian tentu lain ceritanya. Karena baja adalah gabungan antara besi yang ditambahkan karbon sekian persen untuk menambah kekuatannya. Dan itu rumus kimianya berbeda dengan besi murni (demikian pula jumlah proton di dalamnya yang juga bukan 26). Itupun kita harus cari tahu apakah “sebutan besi” di dalam Al-Quran ini merujuk pada baja atau bukan.
Bahasa arab (juga bahasa Indonesia) sangat terbatas dalam mendeksripsikan materi yang ada di alam. Jika kita analogikan dengan air (H2O) yang tersusun oleh atom oksigen (O) dan atom hidrogen (H), apakah itu membuat kita mencocok-cocokan timbulnya kata air di dalam Al-Quran dengan jumlah nomor atom oksigen atau atau jumlah proton di dalam atom hidrogen? Bahkan sebutan kasar dalam bahasa Arab terhadap oksigen paling tinggi hanya sebatas udara (angin). Dan kita tahu udara merupakan campuran dari berbagai macam unsur selain oksigen: udara mengandung sekian persen oksigen, sekian persen hidrogen, dan sekian persen uap air.
Hal lain yang sering dikumandangkan oleh para pemikir muslim mengenai keajaiban Al-Quran adalah jumlah kata laut (tentunya dalam bahasa arab) itu ada 32 dan kata tanah (juga dalam bahasa arab) itu ada 13. Jika dibandingkan kedua bilangan tersebut nilainya hampir sama dengan perbandingan daratan dan lautan dewasa ini. Kata ‘tanah’ ini tentu perlu diperjelas apakah yang dimaksud adalah bumi (yang tersusun atas 7 lapis seperti yang disinggung oleh ayat yang lain) atau cuma daratan saja. Pembaca tentu lebih tahu struktur bahasa arab. Sebab jika kata tanah ini mengacu pada bumi maka rasionya sudah pasti tidak sama. Air itu hanya menyumbang sekian persen dari volume bumi. Jika yang dimaksud adalah daratan, itu pun perlu diperdebatkan lebih jauh.