Penerimaan adalah sumber utama mengeluarkan rasa syukur, tidak berlebihan pula saya mengatakan bahwa manusia telah dianugerahkan perasaan syukur yang sangat bangak. Ibarat teko air penuh dengan air, tinggal bagaimana teko tersebut diangkat dan direndahkan mulut teko, agar air tertuang ke dalam cangkir.
Begitu pun syukur, ia akan keluar dalam diri saat kita mau menerima dan mengakui bahwa kehidupan dan segala apa yang ada didalamnya, merupakan anugerah tak ternilai. Karena saat kita bersyukur, terlihat bukan keberhasilan atau kegagalan, kemajuan atau kemunduran, kemalangan atau keberuntungan, namun yang ada ialah penerimaan bahwa seluruh kondisi saat ini, merupakan kasih sayang Tuhan yang tidak putus diberikan kepada hamba-Nya.
Kejadian kedua, peristiwa ini saya peroleh tidak disangka-sangka, ketika sedang menunggu lampu merah, sekilas saya melihat dua orang lelaki yang sedang mendorong motornya untuk menepi ke pinggir jalan. Dapat ditebak, ban belakang motor tersebut gembos, sehingga tampak kempes.
Lalu yang membuat saat tertegun adalah sikap kedua orang tersebut. Mereka bukannya tampak muram, kesal, atau capek. Yang tampak adalah keduanya saling melempar senyuman dan tawa.
Tunggu dulu, saya sejenak memahami secara logis bahwa ban gembos motor, adalah perkara musibah, wong kita inginnya segera sampai di tujuan, malah harus berhadapan dengan kondisi yang melelahkan (mendorong motor), kesal, bahkan mengumpat.
Namun sikap keduanya membuat saya merenung, manusia ternyata tidak sesempurna itu dalam menilai manusia lainnya. Kita penuh dengan kekurangan dan keterbatasan. Apa yang kita anggap selama ini sebuah kewajaran dan kepatutan, dapat berbanding terbalik.
Jadi, tawa dan senyum kedua orang tersebut, lahir dari sebuah rasa penerimaan yang tulus tanpa tedeng aling-aling, bahkan mereka menertawakan kenestapaanya secara luar biasa. Walau pun sepengamatan saya motornya tampak kendaraan tua, tapi perasaan kedua orang tersebut, jauh lebih bernilai dan terhormat.
Pastinya mereka harus mendorong motor , mencari tambal ban terdekat, namun saya melihat bahwa senyum mereka mengartikan ketulusan dan menerima apa yang telah terjadi. Ilmu ikhlas sedang mereka pertontonkan kepada manusia lainnya (utamanya yang sedang menunggu lampu merah, dan pas sedang melihat mereka).
Syukur dan Ketenangan Jiwa
Syukur adalah muara dari jiwa yang tenang. Dengan ketenangan jiwa seseorang akan dapat menerima apa yang ada, bahkan jika hal tersebut belum sempurna.
Di tengah kondisi modern, manusia disuguhi oleh ragam ketidakpastiaan, kemajuan dan keinstanan berjalan beriringan, waktu berjalan cepat dengan irama yang melelahkan bathin dan pikiran. Hal-hal demikian tentu membuat seseorang akan jatuh pada prilaku depresi, abusif, dan keinginan mengakhiri hidup.
Dengan memahami bahwa kehidupan berdinamika, maka seseorang yang selalu bersyukur dapat melihat setiap masalah dengan perspektif yang lebih bijak. Sehingga tidak berlebihan mengejar sesuatu yang justru membawa stres dan kecemasan.