Mohon tunggu...
Bayu Aristianto
Bayu Aristianto Mohon Tunggu... Dosen - Kuasa atas diri adalah awal memahami eksistensi

Menulis, proses pengabadian diri di tengah kesemuan hidup

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Kunci Hidup Tenang, Bersyukurlah!

26 Oktober 2024   11:04 Diperbarui: 26 Oktober 2024   11:15 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memilih bersyukur, dekat kepada ketenangan hati. Bukan berlebihan mengatakan bahwa kepedulian atas diri sendiri jauh lebih utama, meskipun kadang diri sendiri harus dikorbankan bagi kemaslahatan orang lain.

Bersyukur atas diri sendiri dapat dilakukan dengan memandang kehidupan sebagai karunia Tuhan. Syukur pada tingkatan terendah adalah rasa penerimaan, dan tingkat tertinggi berbuah pada penghormatan atas rasa kemanusiaan untuk diri sendiri, sesama manusia, dan alam, yang hidup dan memberikan kehidupan.

Sedikit berbagi perspektif tentang syukur yang saya 'dapatkan' dari peristiwa sehari-hari, dimana saya kerap abai dan menghiraukan hikmah yang terpendam didalamnya.

Pertama kejadiaan saat saya mengantri pengisian bahan bakar pertamax disalah satu SPBU di sudut kota Yogyakarta, dikondisi pagi yang terik. Antrian mengular panjang, hitungan berdasarkan pengamatan,  ada sekitar belasan kendaraan roda dua yang turut berpanas-panasan mengantri mengisi BBM.

Tentu saja, saya mencoba bersabar, sembari diterpa panas mentari pagi yang cukup payah, ditambah mengenakan jaket dan helm full face, tentu saja rasanya ingin segera beralih ke SPBU lainnya atau memilih menggunakan Pertamax yang antriannya lebih pendek.

Hitungan ekonomi dan singkatnya antrian seringkali diadu di ruang alam bawah sadar ini. 

"Selisih lebih mahal tidak apa-apa asal tidak mengantri panjang".

Namun saya merasa tetap harus melanjutkan antrian, apalagi dibelakang saya, sudah ada sekian motor yang datang belakangan untuk ikut mengantri BBM bersubsidi.

Ada perasaan 'unik" yang sekelabat saya rasakan saat itu, kenapa tidak saya membuka jaket dan helm, toh ini panasnya cocok untuk berjemur, yang tinggi asupan vitamin D, baik untuk tulang, dan kondisi tubuh.

Lalu alangkah menakjubkannya, perasaan saya bertolak belakang dengan perasaan keluhan panas sebelumnya, yang kemudian saya rasakan adalah syukur dan nikmat masih diberikan kesempatan untuk mengecup hawa panas dari sumber alami, karena tidak semua orang dapat merasakan nikmat berjemur di teriknya matahari.

Ditambah keinginan untuk sejenak diam, agar teriknya menerpa pipi dan seluruh wajah. Ya, perasaan, saya temukan saat sedang mengantri BBM, bukan di aula seminar motivasi, di tempat rekreaksi yang memanjakan mata atau ruang konsultasi poli jiwa.

Ternyata saya kembari disadarkan bahwa syukur, bukanlah perasaan "akibat" yang timbul dari "sebab" suatu hal. Namun syukur merupakan kondisi jiwa yang berasal dari dalam diri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun