Mohon tunggu...
Tri Putro Agus Santoso
Tri Putro Agus Santoso Mohon Tunggu... -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sanski Tanggung Renteng Birokrat Korup

16 April 2013   09:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:07 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus ‘Gayus Tambunan’ terus berseri, tidak tahu akan sampai jilid berapa pegawai pajak yang bakal dicokok KPK. Rakyat geram, karena belum ada obat mujarab yang bisa menyembuhkan penyakit di instansi yang sudah mendapat tnjangan kinerja paling besar itu.

Reformasi yang digulirkan Kementerian Keuangan sejak tahun 2008, ternyata belum efektif mengatasi korupsi. Hal itu diakui oleh Wamen PANRB Eko Prasojo, sehingga diperlukan langkah-langkah yang lebih serius dan bisa menimbulkan efek jera. Menurut sang Wamen,  mestinya Ditjen Pajak khususnya, dan instansi pemerintah lain perlu menerapkan sistem tanggung renteng.

Artinya, kalau ada salah seorang pegawai yang terkena kasus korupsi, atasan langsung hingga pimpinan unit kerjanya harus dikenai sanksi.  Kalau dia pegawai di kantor pelayanan pajak (KPP), maka Kepala KPP juga harus disanksi. Kalau pegawai itu dalam organisasi yang pimpinannya eselon II, mislanya Direktur atau Kepala Biro, maka Direktur atau Kepala Bironya juga harus diber sanksi. “Kalau perlu dicopot dari jabatannya,” ujar Wamen seperti dimuat dalam website Kementerian PANRB (Senin, 15/04).

Tidak sampai di situ, Wamen juga mengatakan, seluruh pegawai pada unit kerja birokrat korup tersebut juga perlu diberi sanksi, misalnya penundaan kenaikan pangkat.

Tetaopi sebaliknya, reward juga perlu dilakukan terhadap pegawai di unit kerja yang memiliki prestasi atau kinerja istimewa. Misalnya, dalam tiga tahun berturut-turut kinerjanya memenuhi target yang telah ditetapkan, dan tidak ada pelanggaran oleh individu pegawainya. Para pegawai di unit kerja tersebut pantas dan sebaiknya diberikan bonus dan kenaikan pangkat istimewa. Sedangkan Direktur atau Kepala Kantor diprioritaskan untuk mendapat promosi  jabatan.

Menurut Eko Prasojo, untuk mewujudkan gagasan tersebut dapat dibuat system yang berlaku secara internal. Hal ini tidak hanya untuk Ditjen Pajak atau Kementerian Keuangan, tetapi bisa saja diterapkan di kementerian atau lembaga lain, khususnya yang sudah menerima tunjangan kinerja.

Ditambahkan, langkah tersebut sejalan dengan kebijakan reformasi birokrasi di bidang SDM aparatur, untuk membawa birokrasi dari zona nyaman (comfort zone) ke zona kompetitif.  Penerapan reward and punishment yang konsisten  harus dilaksanakan dalam reformsi birokrasi. “Organisasi yang satu harus berkompetisi dengan organisasi lain. Demikian juga kinerja individual, harus memiliki indicator yang jelas sebagai dasar dalam penilaian untuk menentukn jenis hukuman dan penghargaannya,” tambah Wamen.

Guru Besar UI ini juga mengakui bahwa peran whistleblower di Kementerian Keuangan sudah berjalan baik, dan telah berhasil mengungkap berbagai penyalahgunaan wewenang sejumlah pegawainya. Langkah itu harus dilanjutkan untuk membersihkan birokrasi di Ditjen Pajak, serta memberikan efek jera.

Namun demikian, Eko Prasojo menilai langkah-langkah itu masih harus dibarengi dengan tindakan yang lebih konkret, khususnya dalam bidang pengawasan. Dalam hal ini, peran aparat pengawas internal pemerintah  (APIP) harus terus diperkuat, guna mengawasi perilaku individu pegawai Ditjen Pajak.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun