Kontes pemilihan presiden sudah usai dan presiden terpilih sudah ditetapkan sesuai perundang undangan yang berlaku. Terjadi saling gugat dan saling tuntut antara para peserta pemilihan pun sudah diselesaikan dengan baik oleh semua pihak.Â
Namun pergunjingan seputaran hasil pemilihan dan pihak yang terpilih masih mengiang-ngiang di telinga kita. Masih berseliweran di media massa berbagai narasi dan wacana ketidak puasan. Tanda ada pihak yang masih belum legowo dan masih mencoba mengusik hasil pemilihan dengan berbagai dalih dan hujjat. Seolah-olah bagi mereka kontestasi ini belum usai.Â
Hal itulah yang membuat jalannya pemerintahan ini jadi terganggu, karena, bagaimanapun hal itu pasti menguras energi emosi kita semua, menguras energi kedua pihak. Mestinya kita segenap bangsa bersama-sama bergotong royong membangun negeri yang masih terpuruk ini. Memusatkan energi dan pikiraan untuk membangun.Â
Setiap hari setiap saat kita disuguhkan berita-berita antagonis yang merongrong pemerintah yang sah. Media massa, terutama media massa online, seperti berlomba-lomba memberitakan hal-hal "negatif" dari sumber yang diragukan validitasnya. Entah disengaja atau tidak. Hal-hal negatif itu hanya berupa ucapan skeptis dari segelintir orang atau politikus oposisi.
Ucapan dan narasi negatif itu, yang lebih populer disebut "Nyinyir" kadang jadi sajian gurih oleh media massa yang memang mengejar rating. Tidak penting bagi mereka (para penyaji berita) keabsahan dan keakuratan informasi yang disampaikan. Ukuran sukses bagi media adalah HIT dan HOT. HIT adalah seberapa banyak dilihat/views oleh pemirsa dan HOT adalah seberapa hangat digunjingkan orang.
Tidak penting juga bagi media itu terhadap dampak negatif bagi psikopolitik warga bangsa ini. Narasi-narasi negatif yang dihembuskan itu membuat opini sebagian massa oposisi menjadi semakin membeku (Fiksasi). Yang semula bersikap oposan menjadi semakin oposan. Yang semula bersikap skeptis menjadi irrasional. Yang semula militan menjadi semakin ekstrim.
Fiksasi sikap dan pemikiran seperti itu seolah-olah atau memang sengaja dipelihara oleh oknum politikus dan pihak tertentu yang tidak ingin konstituennya berubah pikiran dan pindah kelain hati. Konstituen mereka harus terus disiram dengan "air kebencian" yang berbau fitnah dan memanfaatkan sentimen agama. Padahal mereka tahu bahwa apa yang disampaikan itu hanyalah fiksi dan narasi kosong yang sudah diskenariokan, yang tidak berdasarkan fakta.
Siraman Narasi itulah yang disebut dengan teori "Ember Bocor". Teori ini lebih populer di dunia periklanan. Namun sangat relevan dengan kondisi politik di Indonesia saat ini.
Teori Ember Bocor adalah suatu teori yang menggambarkan suatu kondisi dimana ada sebuah ember yang sudah bocor secara permanen, tidak diketahui dimana letak kebocorannya namun ember tersebut harus tetap berisi air.Â
Kalau dibiarkan maka air dalam ember akan habis. Nah agar ember tetap terisi maka ember tersebut harus secara terus-menerus diisi dengan air. Air dalam hal ini ibarat narasi dan konsep yang harus tetap ada dalam alam pikiran para pendukungnya. Apabila tidak disiram maka ia akan kosong dan masuklah narasi lain yang berbeda dari sebelumnya.
Hal tersebut tentu saja sangat buruk dampaknya bagi pendidikan politik kita yang juga berdampak pada kemajuan bangsa dan negara. Karena para pemain itu (baca politikus dan oknum tertentu) rela melakukan apa saja demi mempertahankan massa mereka. Bahkan bila diperlukan dengan narasi kosong (fiktif) dan fitnah akan mereka lakukan. Dan itulah yang kita tonton sehari-hari di media yang serba bebas dan terbuka masa ini.