Rasanya aku ingin teriak sekeras-kerasnya, supaya seluruh penduduk bumi mendengar. Tapi mulut terkunci tak bisa bicara, hanya getaran gigi mencerminkan getaran jiwaku.
Pandangan tajam nan kosong pancarkan air mata. Membuat nafas teresak seakan jantung ingin berhenti.
Dunia terasa senyap, apa yang diucapkan suamipun aku tak tahu, entah dia menghiburku atau merayuku. Setiap kata yang dia ucapkan hanya bagaikan sambaran-sambaran petir di siang bolong. Semakin dia berkata, semakin menyayat-nyayat perasaan.
Hati semakin tak arah tujuan. Mulut semakin mengerang tangisan. Aku lari ke tempat tidur. Terjatuh lulai tubuhku dikasur, Guling  aku sambar dan ku dekap erat-erat
Semalam isak tangis menenami pembaringan. Tak terasa sayup-sayup suara adzan subuh menghantarkan pergantian hari. Dengan tubuh lemas aku ambil air wudhu. Â Segera aku tunaikan sholat subuh. Selesai sholat aku merebahkan tubuh di kasur lagi. Badan terasa lemas sekali, seakan tulang tak sanggup menegakan tubuh. Rasanya malas dan tak mau beraktivitas. Seharian hanya di tempat tidur, tidak makan, tidak mandi, dan hanya tidur.Â
Beranjak dari tempat tidur hanya untuk sholat kemudian tidur lagi. Suami takut mendekatiku, sekali mendekati sambil berkata suara lirih,
"Sayang, maaf sayang... ayo makan! Ini saya bawakan makanan"
Saya tidak menggubrisnya hingga dia pergi sendiri.
Kondisi seperti itu terjadi selama dua hari. Selama dua hari terjadi gejolak dalam bantinku.
Sudah puluhan tahun aku menemani dan melayanimu. Dari hidup tidak punya apa-apa, hidup susah payah sampai sekarang agak baik kehidupan kita. Â Tapi baru agak membaik saja sudah bertingkah.
Engkau tidak menghargai cintaku, tidak menghargai pengorbananku, justru berpaling ke hati lain.
Apa engkau tidak ingat ketika hidup susah, untuk makanpun susah. Aku rela berjualan jajanan hanya untuk bisa membantu bisa makan. Aku tidak malu dengan apa yang aku lakukan. Kadang tubuhku yang mudah sakit, aku abaikan.
Tapi mengapa engkau mencari  yang lain.
Engkau mengkhianati cinta dan pengorbanan ku.