Mohon tunggu...
Tria Felle
Tria Felle Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Renungan di Balik Euforia Piala Dunia di Papua yang Kayak ada Ribut-ributnya

1 Juli 2018   14:48 Diperbarui: 1 Juli 2018   15:03 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Piala Dunia ke 21 yang tengah berlangsung di Russia ini sedang jadi pembicaraan hangat di seluruh negara, bukan tanpa alasan, secara ini adalah event kelas dunia yang dilaksanakan 4 tahun sekali, tentu saja dinanti-nantikan oleh seluruh masyarakat di seluruh penjuru dunia. Hal ini pun tidak luput dari dari warga negara Indonesia, terlebih khusus di Papua. 

Melihat kiriman di Media Sosial Facebook yang isinya Piala Dunia semua terkadang membuat saya cukup bosan, wkwkwk. Kiriman status sebelum pertandingan dan sesudah pertandingan, membuat kita hanya perlu membuka akun Facebook untuk memantau skor pertandingan hari ini, dan mengetahui jalannya pertandingan tanpa harus menonton, dan sudah dilengkapi dengan segala kekurangan dan kelebihan permainan tim, rasanya bagaikan sebuah review buku, wkwk

Masyarakat Papua terutama para generasi mudanya di dalam pandangan saya yang juga merupakan orang Papua sangatlah bersemangat, bahkan bisa dikatakan berlebihan. Jika ditanyakan, jawabannya sederhana yaitu karena ini datangnya 4 tahun sekali. 

Suasana yang khas tiap kali Piala Dunia, pertama-tama akan mulai terlihat bendera-bendera negara yang didukung berkibar dengan gagahnya di halaman rumah, bahkan di atas-atas pohon dekat rumah, kendaraan yang mulai dipasangi stiker, bahkan ada yang sampai mengecat rumahnya, dan yang tidak kalah muka mereka masing-masing untuk diupdate di media sosial. 

Lalu dilanjutkan dengan memakai baju-baju Timnas yang didukung, lalu melakukan nobar dan mulai diupdate dengan berbagai macam caption, mendukung timnas yang dipilih, seperti kalah menang Jerman tetap di hati, Vamos Argentina, Brazil terbaik, atau mungkin dengan sekedar menulis Jangan nonton bola tanpa kacang garuda (https://www.garudafood.com/). 

Dari semua yang ada, ada satu ritual khas yang mungkin hanya akan ditemui di sini (umumnya di Timur), yaitu konvoi/pawai Piala Dunia berdasarkan negara pilihannya. Iya, para pendukung ini akan mulai menyatukan kekuatan mereka, membawa bendera, mengecat muka, memakai baju tim yang dipilih, dan melakukan pawai mengelilingi kota sehari sebelum tim pilihan mereka bertanding. Dan itu akan terus berlanjut selama tim mereka masih bertanding di Piala Dunia.

Foto: Antara
Foto: Antara
Semua bentuk dukungan ini sebenarnya akan baik-baik saja jika tidak ditambahi bumbu saling bully antar supporter, saling maki, bahkan sempat terjadi 2 kasus tabrakan yang berujung kematian karena konvoi-konvoi yang dilakukan. 

Lalu, bagaimana dengan para "pejuang" di Piala Dunia itu sendiri. Setelah beberapa kali menonton pertandingan Piala Dunia, dan melihat pemain menitikkan air mata, ada yang karena berhasil mencetak gol untuk membawa timnas mereka ke babak selanjutnya, ada pula yang karena gagal membawa timnas mereka yang lolos, saya menyadari satu hal yang justru membuat saya cukup malu. Mereka, para pemain bola yang tengah berjuang di Piala Dunia itu sangat mencintai negara mereka. 

Tangisan mereka itu seperti sebuah tamparan bagi kita yang bahkan tidak melakukan apa-apa bagi negara kita dan dengan bangganya menaikkan bendera negara lain dan mendukung mereka dengan penuh semangat. 

Mereka, para pemain bola yang bisa membela negara mereka di Piala Dunia itu menganggapnya sebagai sebuah kehormatan, walaupun mereka bahkan mungkin bukan negara yang difavoritkan dalam laga ini. 

Namun, kita malah sibuk memamerkan nama negara lain di seluruh akun media sosial. Bahkan, saat ada yang menjelek-jelekkan tim favorit kita, kita dengan tangguhnya beradu mulut mempertahankan nama negara tersebut. 

Macetnya jalan raya karena konvoi, tingkah laku yang tercemar karena kata-kata makian dan saling bully, terlintas sebuah pertanyaan tentang rasa cinta yang dimiliki bagi sang Ibu pertiwi.

Di saat bendera negara lain berkibar dengan gagahnya di halaman rumah, tidak terlihat sang saka merah putih menemani mereka. Jangankan dikibarkan, dimiliki saja mungkin tidak. Walaupun ini hanya tentang bola dan hiburan yang harus dimaklumi karena baru datang setelah 4 tahun sekali, tapi haruskah kita? Pantaskah? Atau sebegitu berharganya hingga nyawa pun rela dipertaruhkan?

Bukankah miris sekali saat kita berada di atas tanah Ibu Pertiwi ini kita menjadi begitu cinta akan negara lain? Bukankah sayang sekali, dengan berpijak di atas tanah Ibu Pertiwi ini, kita malah berdiri dan menaikkan bendera negara lain dengan bangganya? 

forum.lowyat.net
forum.lowyat.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun