Hati siapa yang tidak miris, melihat NKRI digadaikan atas nama tambang emas, ekonomi mulai menunjukan tanda morat-marit, wakil rakyat beretorika saling menyalahkan dan sibuk membela diri, buruh punya hobi periodik, yaitu turun ke jalan menuntut upah lebih tinggi, pengusaha mengarahkan jarinya ke atas (pemerintah) dan ke bawah (buruh) tunjuk sana tunjuk sini, mahasiswa mulai turun lagi ke jalan walaupun masih sporadis dan belum searah sevisi, anak-anak muda yang tadinya tidak peduli/ tidak mau peduli mulai memenuhi media sosial dengan beragam opini, argumen, hujatan, sampai penistaan.
Sepertinya jalan di depan suram sekali melihat potret negeri ini yang penduduknya gemar berkelahi, beropini, berkolusi, dan berkorupsi. Setiap hari isi doa adalah meminta pertolongan Tuhan YME agar negara ini diselamatkan dari kehancuran, azab, dan kesengsaraan, dari negara yang dijajah ego penduduknya sendiri. Kalau boleh ada pil mujarab bernama ratu adil/ satria piningit/ imam mahdi yang dikabarkan menurut ramalan beberapa sekte agama/ kepercayaan mampu membalikkan keriuhan dan kegaduhan menjadi ketentraman, kegemahan, keripahan, dan kelohjinawian, yang katanya gemah ripah lohjinawi adalah tatanan asli bangsa ini.
Tuhan melalui utusan-Nya menjawab: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka” (Al Qur'an Surah Ar Ra'd 13:11)
Secara tersirat bila kita masih mempercayai Tuhan, dan/atau berketuhanan, lupakanlah ratu adil/ satria piningit/ imam mahdi. Karena kitalah yang bertanggunggung jawab atas nasib bangsa ini, kitalah yang menjadi ratu adil/ satria piningit/ imam mahdi di bidang kita masing-masing, di pekerjaan, di jabatan yang diamanatkan, dan di kehidupan sosial kemasyarakatan kenegaraan kita. Tak akan ada ratu adil, kita lah yang harus berlaku adil pada negeri ini, tidak ada satria piningit yang katanya titisan rajaresi yang telah cukup dengan dirinya, tak akan ada seorang imam mahdi yang lama dinanti-nanti yang akan membawa negeri ini kepada utopia.
Saatnya kita mulai membalikkan telunjuk yang tadinya mengarah ke luar, menjadi ke dalam. Ke dalam diri sendiri, sambil bertanya "Apa yang dapat saya sumbangsihkan untuk Ibu pertiwi yang sedang sakit ini?". Apakah kita hendak menjadi pendemo di jalanan yang berhati bersumbangsih atau berhati pamrih? Apakah kita hendak menjadi wakil rakyat/ perangkat negara yang berhati memberi atau berhati meminta? Apakah kita hendak menjadi pengusaha yang berniat mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya ataukah bertujuan menyejahterakan orang-orang yang bekerja kepadanya?
Kasus SN vs SS hanyalah puncak gunung es (layar pewayangan) yang kemudian saat muncul ke permukaan menjadi riuh rendah dengan segala macam penilaian (judgment) semua pihak, seolah Indonesia menjadi ladang opini dan caci-maki, yang kemudian dipanen dengan sengat bahagia oleh media-media. Tapi perlu disadari, di balik layar pewayangan tadi ada musik gamelan (situasi) yang bermain, ada dalang (aktor) yang mengatur gerak wayangnya, ada pola perilaku politik yang selalu berulang dari waktu ke waktu (elitisme, mengeruk kekayaan negara untuk partai, dll), kemudian ada struktur dan sistem politik yang melembaga dalam trias politica seolah melegitimasi tindakan atas nama hukum/ negara/ rakyat, dan yang terakhir adalah model mentalitas politik itu sendiri, tidak sedikit orang politik yang bersih dan bermental memberi seperi Ahok, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Tri Rismarini, dan yang lainnya, namun segelintir orang itu masih belum sebanyak politisi bermental mencari fulus balik modal kampanye dan memperkaya diri/ golongan.
Dua pilihan memberi dan meminta itu besar sekali pengaruhnya terhadap jalan mana yang akan ditempuh dan ujung mana yang akan dituju oleh Indonesia, akankah Indonesia menempuh patologi sosial (individualisme, koncoisme, dan nepotisme) menuju peningkaran, antipati, ketidakpedulian kolektif, manipulasi, kesewenang-wenangan, hingga akhirnya penghancuran ekonomi.
Ataukah kita menempuh kebangkitan sosial (kolektivisme, ekosistem) menuju pertukaran pikiran, empati, kepasrahan (bukan ketidakberdayaan), kepedulian kolektif, dialog, tindakan konstruktif, hingga berujung pada penciptaan ekonomi? Yang kedua kedengarannya utopia? Coba tanyakan kepada Nelson Mandela tentang utopia Afrika Selatan, atau tanyakan Mahatma Gandhi tentang utopia India, semua berawal dari idealisme. Dalam hal ini bapak bangsa kita saat ini adalah diri kita masing-masing melakukan yang terbaik untuk Ibu Pertiwi, dengan mentalitas memberi.
Dua pilihan memberi dan meminta tadi juga akan mempengaruhi kualitas pembicaraan, kualitas tindakan, dan kualitas hasil. Telunjuk mengarah ke luar akan membawa bangsa ini kepada gerbang kehancuran. Mengapa? Pertama, menunjuk jari ke luar seperti kata-kata "JW lemah, PS menggunting dalam lipatan, SN tak beretika dan tak punya malu" akan membuka kotak pandora bernama kacamata kuda, kita lalu hanya melihat dari satu sudut pandang saja, sudut pandang yang tidak lengkap akan membawa pada pola 'saya benar anda salah' atau 'kita benar mereka salah', ujung-ujungnya 'kita vs mereka'.
Tidak berhenti di situ, mentalitas kita vs mereka bukanlah benar vs salah, karena manusia cenderung mengkotakkan segala sesuatu berdasarkan dualitas, senang-susah, suka-benci, baik-buruk, benar-salah, dan seterusnya. Perilaku mengkotakkan itu dilakukan ego, tergantung ego tersebut ingin diberi makan apa. Musuh kolektivisme bukanlah benar-salah, tapi adalah ego itu sendiri. Ego akan membawa tatanan kemasyarakatan (society) kita pada fundamentalisme/ fanatisme buta, contohnya kalau sudah KMP sudah hampir pasti bukan KIH, kalau JW bilang A, PS hampir pasti bilang B. Selalu mencari perbedaan, dan memang itulah pekerjaannya ego, menciptakan sektor dan silo (mungkin itulah sebab kenapa muncul istilah ego sektoral).