Dalam waktu yang relatif agak lama saya berkutat di dunia konsultan, training, motivasi, dan fasilitasi, berkenalan dengan banyak sekali konsultan, trainer, motivator, fasilitator, hipnoterapis, dan titel-titel lainnya, saya mengamati ilmu-ilmu yang berkembang seputar practical and 'fun' learning yang menjadi mainstream di komunitas trainer tersebut.
Trainer berargumen bahwa pembelajaran yang praktis dan menyenangkan merupakan kunci keberhasilan dan langgengnya ilmu tersebut, itu merupakan argumen saya juga, sehingga sesi ice breaking joget-joget dan nyanyi-nyanyi jadi menu wajib, kalau dihitung-hitung, dari 3 hari pelatihan mungkin terpakai sekitar 1 hari hanya untuk membuat mereka tidak mengantuk/tetap bersemangat. Belum termasuk materi mengenai Positive Mental Attitude a la Napoleon Hill.
Saya pikir argumen saya telah sesuai dengan kenyataan, ternyata tidak. Apa yang terjadi? saya menemukan dalam pelatihan yang sama, tidak sedikit orang yang sama kembali menjadi peserta. Alasannya apa? kebanyakan ingin direfresh motivasinya karena mereka kembali terdemotivasi, dan kian hari makin stress. Nah loh...
Saya kemudian mencari-cari antitesis dari Positive Mental Attitude yang kadung jadi primadona para trainer (termasuk saya), dan akhirnya saya menemukan beberapa referensi dari Psychology Today, Forbes, dan New York Times. Beberapa poin yang saya dapat dari referensi tersebut, bahwa positive thinking tidaklah terlalu membantu, malah sebaliknya, antara lain:
- Positive Thinking/ Optimis cenderung menganulir masalah atau menganggap remeh, dan efeknya kurang lebih sama dengan negative thinking/pesimis yang melihat segala sesuatu sebagai masalah. Contoh misalnya dalam pikiran kita si A adalah orang terpuji, dan kita meyakini apa pun yang dilakukan si A kecil kemungkinan tidak terpuji, bahkan saking yakinnya kita, kita memiliki anggapan bahwa A adalah orang yang tanpa cela, sehingga kita memujanya seolah dewa. Pada saat kita menerima informasi si A ditangkap karena menjadi tersangka korupsi, pikiran kita yang kadung melabeli si A sebagai orang terpuji langsung tidak percaya dan menolak kenyataan itu. Misalnya skenarionya berlanjut, si A kemudian terbukti dan dinyatakan bersalah, maka kita pun menjadi sangat kecewa karena kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan persepsi. Positive thinker dan negative thinker punya persamaan, yaitu dua-duanya tidak hidup pada realitas dan tidak hidup di saat ini. yang pertama delusional, yang kedua destruktif
- Positive thinking lebih banyak menambah masalah, bukan menyelesaikan masalah. Ini yang menarik, orang yang mencoba untuk mengatasi pikiran dan perasaan negatif biasanya menjadi orang yang lebih... negatif. Dalam bukunya The Antidote: Happiness for People Who Can’t Stand Positive Thinking, Oliver Burkeman mengatakan bahwa upaya menghilangkan pikiran/perasaan negatif atau menggantinya dengan pikiran/perasaan positif, malah justru pada akhirnya akan menyebabkan diri kita lebih merasa insecure, resah, galau, dan tidak bahagia.
Kalau bukan positive thinking, lalu apa dong solusinya? Pengembaraan panjang saya mulai menemukan titik terang. Bahwa ternyata di luar positivitas/negativitas atau optimis/pesimis, ada yang namanya netralitas atau realistis. Orang yang netral melihat segala sesuatu sebagaimana mestinya, tidak menambahi atau mengurangi data yang ada.
Pada fitrahnya/sejatinya, manusia itu netral, hanya saja otak kita memang pekerjaannya memberikan label label kepada apa pun yang ditangkap indera, misalnya kita pernah trauma digigit oleh ular maka 88% kita meyakini bahwa ular adalah hewan yang agresif dan berbahaya. Maka saat kita bertemu dengan ular, reaksi kita adalah antara lain: lari, mengusir ular, atau membunuh ular. Lain misalnya kalau seseorang yang biasa hidup dengan ular karena ayahnya seorang pawang ular, ketika bertemu ular reaksi pawang ini kemungkinan besar menangkap ularnya.
Beberapa waktu lalu saya menemukan konsep mindfulness untuk mengurangi stress (Mindfulness Based Stress Reduction/ MBSR) bahwa stress merupakan disonansi yang diakibatkan dari tidak sesuainya data yang ada di pikiran dengan kenyataan. Cara agar tidak terjadi disonansi adalah dengan menghidupi 9 sikap mindfulness, antara lain:
- Menyadari segala sesuatu adalah hal yang baru, tidak ada hal yang terjadi dua kali persis sama di dunia ini. Pikiran yang penuh tidak akan mampu belajar dari hal yang baru
- Sabar. Menerima saat ini, tanpa perlu tergesa-gesa menuju tujuan berikutnya. Bayi akan lahir dalam kurun waktu 9 bulan, ulat akan menjadi kupu kupu kalau sudah melewati fase kepompong. Segala sesuatu indah pada waktunya.
- Tidak menghakimi, mengamati segala sesuatu dengan netral, dari yang biasanya kita selalu menilai sesuatu itu baik/buruk, suka/tidak suka, bagus/jelek, positif/negatif.
- Percaya, mempercayai bahwa tubuh, pikiran, dan perasaan kita memiliki karepnya sendiri-sendiri, dan percaya bahwa hati/nurani merupakan sumber kebijaksanaan hidup yang tidak terbatas
- Tidak ngotot, bahwa tidak perlu berupaya keras untuk menjadi bahagia, bahagia itu ya hidup sepenuhnya di saat ini, tanpa perlu terbayang-bayangi yang telah berlalu atau takut atas segala sesuatu yang belum terjadi
- Menerima/ nrimo, apapun yang diberikan hidup ini, maka terimalah, sakit, sedih, susah, gembira, apa adanya
- Pasrah, merelakan apapun yang menjadi beban tanpa sisa, tanpa ego, tanpa memendam apa pun
- Bersyukur kepada Tuhan atas apa pun yang kita alami; udara, matahari, makanan, minuman, paru-paru, panca indera, tangan, kaki, dst.
- Mempersembahkan apa yang kita tahu kepada orang lain, bahwa bahagia itu adalah netral.
Referensi:
- https://www.psychologytoday.com/blog/creativity-and-personal-mastery/201004/why-positive-thinking-is-bad-you
- http://www.forbes.com/sites/janbruce/2013/11/19/how-positive-thinking-creates-more-problems-than-it-solves/
- http://www.nytimes.com/2014/10/26/opinion/sunday/the-problem-with-positive-thinking.html?_r=0
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H