Mohon tunggu...
Abdur Rahman
Abdur Rahman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kader Muda NU

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Oposisi Menuju Transisi (SBY-Jokowi)

23 Januari 2015   09:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:33 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kondisi Negara di belahan dunia pasti mengalami sebuah perbedaan pandangan politik dari para pejabat pemerintah baik dikalangan politisi ataupun golongan yang lainnya. Seperti halnya di Indonesia, sejak Negara Indonesia merdeka tahun 1945 sudah terjadi pebedaan sengit permasalahan idiologi Negara yang akan termaktub dalam UUD 45. Tidak hanya disitu perbedaan sengit juga terjadi mengenai komunis yang digagas presiden Soekarno dengan semboyan NASAKOM. Perbedaan-perbedaan semacam ini menimbulkan kelompok-kelompok dalam pemerintahan, baik dari partai politik ataupun dalam pemerintahan itu sendiri.

Perbedaan pandangan inilah yang sering diartikan dalam dunia politik sebagai oposisi, Robert A. Dahl (1989) mengemukakan bahwa oposisi politik dalam Negara Demokrasi tidak bisa dihindarkan, bahkan menjadi tolak-ukur sehat atau tidaknya Negara Demokrasi, dikarenakan pada dasarnya konflik tidak bisa dihindarkan dalam urusan manusia. Selain itu warga Negara memiliki hak inisiatif dan partisipasi dalam membangun pemerintahan yang lebih baik kedepannya. Seperti Partai demokrasi Perjuangan (PDI-P) yang menyatakan oposisi dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Masa-masa oposisi untuk selalu mengontrol pemerintahan SBY seperti yang dahulu dilakuan PDI-P justru sekarang menjadi berbalik setelah terpilihnya Presiden Ir. Joko widodo. dahulu diluar pemerintahan sekarang menjadi pemegang pemerintahan. Menjadi pemegang pemerintahan dari sebelumnya oposisi tentu mempunyai prinsip-prinsip good  government yang berbeda dalam rangka mensejahterakan rakyat. Baik dari segi kepemimpinan, kabinet, program kerja, maupun sumber daya manusia (SDM) pejabat pemerintah.

Perubahan sistem dari presiden SBY ke Jokowi dalam rangka membangun good government membutuhkan waktu untuk menyesuaikan kondisi yang ada, mulai dari peralihan pejabat yang dahulu mendampingi SBY sampai pada regulasi yang terbaru. Pada masa transisi inilah, presiden jokowi harus berhati-hati dalam menentukan kebijakan, salah satunya agar mampu meredam akan timbulnya konflik yang terjadi di dalam pemerintahan. Hal ini terbukti adanya pro-kontra disaat pergantian Hakim Agung dan pergantian Kapolri.

Pergantian para pejabat menjadi tugas utama Jokowi untuk mensukseskan pemerintahan 5 tahun kedepan. Akan tetapi jika penunjukan para pejabat tidak hati-hati, maka justru akan dimanfaaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memecah belah pemerintahan presiden baru ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun