Mudik hijau sering kali digaungkan sebagai solusi ramah lingkungan dalam tradisi pulang kampung saat Lebaran. Kampanye ini mendorong masyarakat untuk menggunakan transportasi umum, mengurangi sampah plastik, hingga memilih kendaraan yang lebih efisien. Namun, seberapa realistis konsep ini diterapkan di Indonesia? Apakah mudik hijau sekadar utopia di tengah kondisi infrastruktur dan kebiasaan masyarakat yang ada?
Realita di Lapangan: Kendala Mudik Hijau
Meskipun ide mudik hijau terdengar ideal, realitanya terdapat beberapa kendala utama yang membuat penerapannya sulit:
Ketergantungan pada Kendaraan Pribadi
Transportasi umum di Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa, masih belum memadai. Banyak daerah tidak memiliki akses kereta api atau transportasi massal yang efisien, sehingga masyarakat tetap bergantung pada kendaraan pribadi, yang ironisnya meningkatkan jejak karbon.
Infrastruktur yang Belum Optimal
Jalan raya sering kali menjadi pilihan utama karena keterbatasan jalur transportasi hijau seperti kereta api dan bus listrik. Ditambah lagi, kemacetan panjang selama arus mudik menyebabkan konsumsi bahan bakar yang lebih tinggi dibanding hari biasa.
Saya dan suami pernah ke Lampung menggunakan jalur Keteng. Hal ini kami lakukan di luar Ramadan/Lebaran.
Awalnya kami menggunakan Jaklingko ke stasiun Pancasila, naik KRL sampai Manggarai pindah jalur, naik krl Bekasi-Tanah Abang.
Lanjut naik krl Tanah abang-Rangkas Bitung. Sejauh ini perjalanan nyaman, karena kami dapat duduk, dan ketersediaan kereta yang banyak. Dalam arti tidak menunggu lama sudah datang krl yang siap berangkat. Sayangnya saya tidak dapat membeli tiket kereta secara online, kereta lokal Rangkas Bitung-Merak. Berharap tiba di Stasiun Rangkasbitung langsung dapat beli di loket. Ternyata kami kehabisan tiket untuk ke Merak. Adanya di sore hari pukul 16.45. Solusinya memang berangkat dari Jakarta tidak siang. Jadi alternatif ke Meraknya bisa menunggu kereta antara jam 05.05- 13.40.
Akhirnya kami naik angkutan lokal, mobil omprengan, berangkat apa ke Serang apabila sudah penuh. Lanjut dari Serang ke Merak naik Bis. Keuntungannya bisa melihat pemandangan alam yang masih hijau dengan omprengan. Jalur yang dipilih adalah jalanan pelosok sehingga tidak macet. Sopir dapat diandalkan dalam mengendarai mobilnya karena orang lokal sudah memahami keadaan jalan.

Perilaku Masyarakat
Kesadaran akan gaya hidup ramah lingkungan masih rendah di kalangan sebagian besar pemudik. Penggunaan botol air isi ulang, pengurangan plastik, atau pengelolaan sampah selama perjalanan sering kali kalah dengan kebiasaan konsumtif yang lebih praktis. Pasti dalam mobil pemudik banyak yang bawa galon, sehingga dalam perjalanan bisa menggunakan gelas berulang tidak botol plastik sekali pakai.
Alternatif Solusi yang Lebih Realistis
Alih-alih memaksakan konsep mudik hijau secara utopis, solusi yang lebih membumi perlu dikembangkan:
Peningkatan Infrastruktur Transportasi Hijau
Pemerintah perlu memperbanyak jalur kereta api dan bus listrik antarkota, terutama di luar Pulau Jawa, agar masyarakat memiliki alternatif yang benar-benar ramah lingkungan.