Hak atas kesehatan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1948, setiap orang berhak atas standar hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya, termasuk hak atas pelayanan kesehatan (PBB, 1948). Hak atas kesehatan tidak hanya terbatas pada akses terhadap layanan medis, tetapi juga mencakup upaya pencegahan penyakit, pengelolaan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi kesehatan, dan peningkatan kualitas hidup secara umum (PBB, 1966).
Hak atas kesehatan meliputi berbagai aspek, antara lain:
1. Aksesibilitas: Setiap individu berhak mendapatkan layanan kesehatan yang mudah diakses, baik dari segi fisik maupun finansial.
2. Ketersediaan: Tersedianya fasilitas kesehatan yang memadai dan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
3. Kualitas: Layanan kesehatan harus sesuai dengan standar yang tinggi dan berbasis pada bukti ilmiah (Komite Ekonomi Sosial dan Budaya PBB, 2000).
4. Non-diskriminasi: Tidak ada individu atau kelompok yang dikecualikan dari hak ini berdasarkan status sosial, ekonomi, ras, atau jenis kelamin (PBB, 2008).
Oleh karena itu, hak atas kesehatan bukan hanya tentang akses terhadap perawatan medis, tetapi juga tentang kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mendukung kehidupan yang sehat. Ini termasuk akses terhadap air bersih, pendidikan, gizi yang baik, serta lingkungan yang tidak tercemar.
Diskriminasi dalam pelayanan kesehatan terjadi ketika pasien menerima perlakuan tidak adil berdasarkan ras, jenis kelamin, etnis, status ekonomi, agama, atau disabilitas. Di BPJS Kelas 3, diskriminasi ini sering kali terlihat dalam kualitas layanan yang lebih rendah dibandingkan dengan peserta kelas lainnya. Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan dalam pelayanan kesehatan, yang seharusnya memberikan akses setara bagi semua lapisan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal 6 Ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang berhak menerima pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan bebas dari diskriminasi, sehingga negara wajib memastikan kesetaraan layanan kesehatan untuk seluruh warganya.
Kasus diskriminasi pelayanan terhadap pasien BPJS Kelas 3 sering menjadi perhatian di berbagai rumah sakit. Salah satu kasus menunjukkan bahwa pasien peserta BPJS Kelas 3 mengalami perbedaan perlakuan dibandingkan pasien yang tidak menggunakan BPJS atau kelas yang lebih tinggi. Diskriminasi ini terlihat dari waktu tunggu yang lebih lama, akses terbatas ke fasilitas medis tertentu, hingga sikap yang kurang ramah dari tenaga kesehatan. Perbedaan perlakuan ini menciptakan ketidakadilan dalam layanan kesehatan yang seharusnya dapat diakses secara setara oleh semua peserta, tanpa memandang kelas atau status jaminan.
Dampak Kasus Terhadap Kesehatan Pasien
Diskriminasi dalam pelayanan kesehatan memiliki dampak yang signifikan terhadap pasien, baik secara fisik maupun psikologis. Dari segi fisik, keterlambatan dalam diagnosis atau pengobatan dapat memperburuk kondisi pasien dan meningkatkan risiko komplikasi. Secara psikologis, perlakuan yang tidak adil dapat menimbulkan rasa stres, kecemasan, dan perasaan tidak dihargai, yang pada akhirnya dapat menghambat proses pemulihan pasien. Selain itu, diskriminasi ini dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem jaminan kesehatan nasional, membuat mereka enggan untuk kembali memanfaatkan layanan medis di masa depan. Akibatnya, pasien BPJS Kelas 3 mungkin merasa terpinggirkan dan tidak mendapatkan hak mereka atas kesehatan yang layak, yang seharusnya dijamin oleh undang-undang dan prinsip keadilan dalam pelayanan kesehatan. Diskriminasi ini berpotensi memperburuk kondisi kesehatan mereka, menghambat akses terhadap perawatan yang diperlukan, dan memperlebar kesenjangan kesehatan antara kelompok masyarakat yang berbeda.
Perlindungan Hukum terhadap Diskriminasi Pelayanan Kesehatan
Untuk mencegah dan mengatasi diskriminasi dalam pelayanan kesehatan, pemerintah telah mengatur perlindungan hukum yang jelas dan tegas. Salah satu dasar hukumnya adalah Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak atas perlindungan hukum terhadap layanan kesehatan yang diterima. Pasal ini memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka dapat menuntut haknya apabila terjadi perlakuan diskriminatif dalam pelayanan kesehatan.
Selain itu, Pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menegaskan bahwa peserta program jaminan kesehatan memiliki hak untuk menerima pelayanan medis yang setara tanpa adanya perbedaan perlakuan. Regulasi ini secara tegas melarang segala bentuk diskriminasi, termasuk terhadap peserta BPJS Kelas 3, yang kerap dianggap sebagai kelompok dengan akses terbatas. Dengan adanya aturan ini, semua peserta dijamin mendapatkan layanan medis yang layak sesuai kebutuhan mereka.
Pemerintah perlu memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan kesehatan di fasilitas-fasilitas kesehatan, salah satunya di rumah sakit. Rumah sakit harus menyadari bahwa tujuan dari adanya rumah sakit adalah untuk menjadi wadah bagi para pasien mencari bantuan medis. Rumah sakit perlu menerapkan sistem evaluasi pelayanan secara berkala untuk memastikan kualitas layanan yang diberikan sesuai dengan standar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H