Mohon tunggu...
Madin
Madin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Penyuka bubur kacang hijau, wartawan, penulis, fotografer, peminat travelling dalam rangka menyaksikan kebesaran Allah SWT, Motto : Menulis untuk berbagi. Berucap, bertindak dan berbuat sesuatu yang bisa memberi manfaat kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kisah Inspriratif dan Penuh Haru, Sang “Ustadz Pinus" dan Pemanjat Aren

28 April 2014   17:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:06 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Air Terjun Lembanna, Malino"][/caption]

"Mas Putera", begitu ia biasa dipanggil. Ia adalah pemuda Lampung, Sumatera. Ia bertipikal periang dan murah senyum.

Putera adalah salah satu lulusan pondok binaan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Pondok Pesantren Wali Barokah, Kediri, Jawa Timur.

Sudah lebih dari 3 tahun ia menetap di Malino, Kab.Gowa, Sulawesi Selatan. Ia tinggal di sebuah rumah di belakang Pasar Malino. Sebuah rumah papan, menjadi tempatnya berlindung dari sengatan matahari dan hujan yang mengguyur Malino.

Sehari-hari ia berdakwah disana. Ia mengajarkan kemurnian ilmu Quran dan Hadis yang dulu ia peroleh di pondok pesantren. Putera mengajarkan ilmunya kepada anak-anak, remaja, hingga orang dewasa.

Ustadz Putera memiliki segudang jadwal mengajar. Ia mengajar mengaji anak-anak yang jumlahnya puluhan. Materi yang ia ajarkan, mulai dari bacaan Alquran, hafalan doa, surah, tata krama dan lainnya. Belum lagi, Ustadz Putera memiliki jadwal tetap untuk datang ke Makassar untuk mencari tambahan ilmu.

Ustadz Putera bercerita, ia kadang mengajak santrinya untuk berjalan-jalan mengelilingi Hutan Pinus. Hal itu sebagai cara dia mendidik santrinya agar mencintai alam. Selain itu, untuk memberi pengalaman yang menyenangkan kepada santri binaannya. Tidak hanya anak-anak, Ustadz Putera juga mengajar pemuda dan orang dewasa.

[caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Di Hutan Pinus inilah, Ustadz Putera mengajak santrinya bertravelling"][/caption]

Perjuangan Ustadz Putera dalam mengemban amanah sebagai seorang muballigh bukanlah perkara mudah. Mengapa? Malino adalah termasuk daerah ketinggian. Tidak heran jika Malino memiliki iklim yang dingin. Semakin anda ke puncak, maka semakin rendah kualitas oksigen disana. Disore hari, Malino kerap berselimut kabut. Hawa dingin masuk ke pori-pori kulit. Hujan juga memiliki intesitas yang tinggi di sana. Saat Makassar panas terik, Malino justeru dirundung mendung.

Di sana, disore hari, kebanyakan penduduk mengenakan sarung. Pada malam hari, di depan rumah warga, beberapa orang tampak menyalakan api unggun. Mereka menghangatkan tubuh dari dingin yang menusuk tulang. Ini artinya, fisik yang prima menjadi modal utama untuk tetap bertahan di Malino.

Pipi orang Malino berbeda dengan pipi orang yang tinggal di daerah dataran rendah. Aku mengabadikan wajah seorang anak yang tinggal di daerah Bulubalea. Lihatlah, wajahnya berwarna merah. Polos dan menggemaskan, bukan?

[caption id="" align="aligncenter" width="720" caption="Pipi Bocah Malino yang kemerah-merahan, sebab dinginnya cuaca"][/caption]

Selain iklim, jarak juga menjadi tantangan bagi Ustadz Putera. Jarak antara tempat tinggalnya dengan rumah warga binaanya terbilang jauh. Ia bahkan harus menempuh perjalanan 40 km untuk sampai ke tempat pengajian. Motor Honda Revo yang ia pakai harus menuruni dan memanjat gunung.

Aku yang ingin merasakan bagaimana memutuskan ikut bersama Ustadz Putera. Aku ingin menyaksikan bagaimana perjuangan "Sang Guru" untuk sampai ke rumah jamaahnya.

Sore itu, Kamis (24/4/2014) sekitar pukul 14.30 kami bersiap-siap berangkat. Kami meninggalkan rumah menuju Desa Mamampang, Kec. Tombolo Pao.

Saat itu, langit terbilang cerah. Meski dari kejauhan, ada beberapa wilayah yang tampak mendung. Kami telah mempersiapkan segala sesuatunya. Aku sendiri memakai baju 3 lapis.

Satu baju kaos. Dilapisi baju kemeja. Terakhir jaket tebal berwarna merah aku kenakan. Mas putera sendiri, yang aku lihat, mengenakan jaket hijau.

Perjalanan yang kami lalui sungguh menantang bagiku. Jalan beraspal terbilang mulus. Namun, kami harus tetap berhati-hati. Aspal yang kami lalui bagai angka delapan. Berkelok-kelok bagai tubuh ular. Ustadz Putera yang saat itu mengendarai motor, tampak cekatan berkelok-kelok di tengah aspal. Aku duduk di belakang dengan santai sembari menyaksikan panorama yang menakjubkan.

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Di daerah Tombolo Pao, langit tampak berkabut"][/caption]

Aktifitas warga di sore hari kami saksikan. Beberapa warga sedang memarkir mobil open-cupnya. Beberapa orang bapak dan pemuda sedang menaikkan hasil bumi berupa sayur mayur. Pada malam hari, sayur-sayur yang dimasukkan ke dalam karung itu akan dibawa ke Makassar.

Dalam perjalanan, aku juga menyaksikan beberapa orang yang sedang mengemas wortel di pinggir jalan.

Saat kami memasuki wilayah Kaenrapia, tubuhku tangan dan kaki bagaikan menyentuh air beku. Daerah ini memang terkenal dingin. Sebab ini adalah puncak ketinggian. Disana, beberapa menara pemancar tampak berdiri. Setelah Kaenrapia, jalan yang kami lalui mulai menurun. Kami lalu menyempatkan diri berpose di tugu penunjuk jarak.

[caption id="" align="aligncenter" width="553" caption="Ustadz Putera, Sang Ustadz Pinus, berpose di tugu penunjuk jarak. 100 km dari Makassar"][/caption]

Untuk sampai ke tempat pengajian, motor kami harus naik ke gunung. Dari arah Malino, kami harus berbelok ke kanan. Inilah pertigaan jalan yang akan kami lalui. Kemiringan jalan ini kurang lebih mencapai 60 derajat. Disisi kiri dan kanan jalan dilapisi semen. Bagian tengah jalan dibiarkan tak bersemen.

[caption id="" align="aligncenter" width="960" caption="Inilah awal jalan menanjak yang harus Ustadz Putera tempuh saat mengajar"][/caption]

Motor “dipaksa” naik. Perseneling satu terus terjaga. Ustadz Putera berhati-hati saat itu. Disisi kiri dan kanan jalan jurang lebar menganga.

Akhirnya tibalah kami di pertingaan jalan kecil. Lho, kok berhenti di sini? Tanyaku dalam hati. Tak ada rumah disitu.

Ternyata, kami harus berjalan kaki. Aku lalu mengikuti Ustadz Putera menuruni bukit beberapa puluh meter.

Sekitar 1 jam 30 menit kami berpetualangan di jalan, tibalah kami di tempat tujuan, Rumah Daeng Situru. Kami berdua lalu masuk ke rumah. Daeng Situru sendiri ialah seorang bapak yang sedang dicoba oleh Allah SWT. Kedua matanya tidak melihat lagi.

Daeng Situru tinggal bersama keluarganya. Aku melihat seorang lelaki dan 3 orang wanita yang ada di rumah. Kami pun bersalaman dan bercakap-cakap.

Setelah bercakap-cakap, Ustadz Putera mengajakku untuk naik lagi ke gunung. Iya, diatas sana masih ada rumah warga binaanya. Kami pun pamit kepada tuan rumah.

Jalan yang kami lalui selanjutnya lebih ekstrem lagi. Jalan berbatu menyapa kami. Setelah itu, jalan landai. Namun, jangan kira tidak beresiko. Saat itu, jalan becek berlumpur. Dua kali motor kami hampir jatuh ke jurang sisi kiri jalan. Karena kurang keseimbangan, hampir saja kami mendapat musibah. Alhamdulillah kami masih diberi keselamatan oleh-Nya.

Daeng Conci, Sang Pemanjat Aren

Beberapa saat, menyusuri jalan, tibalah kami di sebuah rumah papan. Tampak beberapa orang remaja. Ada 3 orang sedang duduk di teras rumah yang di depannya tumbuh Pohon Cengkeh.

Kami lalu bersalam, lalu menanyakan bapak pemilik rumah. Nama pemilik rumah ialah Daeng Conci. Begitu ia dipanggi. Ia juga sedang dicoba oleh Allah SWT. Kedua matanya tidak melihat lagi. Usianya kurang lebih 40 tahunan.

Bapak ada di belakang,” kata seorang remaja. Belakangan aku ketahui bahwa ia adalah anak kedua Daeng Conci.

Lantas apa yang dilakukan oleh Daeng Conci dibelakang rumah? Aku pun tidak percaya pada apa yang aku lihat. Kalau aku boleh sebut ini adalah sesuatu yang langka.

Daeng Conci saat itu sedang berada di atas Pohon Aren. Tingginya sekitar 20 meter. Sebilah bambu tampak menyandari disisi pohon. Di ruas bambu tampak olehku, potongan bambu yang disususun melintang. Potongan itu Daeng Conci jadikan sebagai pijakan untuk naik ke atas aren.

Berkali-kali aku takjub. Kok bisa, bapak itu naik ke atas pohon? Padahal ia tidak melihat sama sekali. Lalu, bagaimana caranya?

Ustadz Putera, lalu berbicara dengan Daeng Conci. Apa yang aku saksikan, Daeng Conci begitu hafal dengan suara Ustadz Putera.

Daeng Conci lalu menyelesaikan pekerjaannya. Ia menurunkan 2 bilah bambu berdiamenter jumbo. Aku lalu membantu meraih bilah bambu yang tergantung disisi pohon. Wow, ternyata ini toh, yang namanya air aren.

[caption id="" align="aligncenter" width="384" caption="Saat kami datang, Daeng Conci sedang menderes Aren di atas pohon"][/caption]

Keherananku tidak hanyasampai disitu. Ternyata Daeng Conci mampu mengangkut hasil deresnya seorang diri. Dipikulnya dua bilah bambu yang telah berisi panen itu. Ia menggunakan sebilah bambu untuk menghubungkan antara bilah bambu yang satu dengan yang lainnya. Dari ucapan Ustadz Putera, Daeng Conci naik ke atas pohon 3 kali sehari. Pagi, siang dan sore.

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Daeng Conci dan Ustadz Putera"][/caption]

Daeng Conci membawa air aren dari hutan menuju dapur, belakang rumahnya. Setibanya di rumah, ia meminta anak lelakinya untuk memindahkan air itu ke kuali besar. Nantinya, air itu akan dimasak hingga mengental menjadi gula merah.

[caption id="" align="aligncenter" width="384" caption="Luas biasa... Daeng Conci bisa membawa hasil panennya seorang diri"][/caption]

Aku, Ustadz Putera dan Daeng Conci lalu duduk di ruang tamu. Aku pun berusaha menggali informasi tentang Daeng Conci.

[caption id="" align="aligncenter" width="384" caption="Minum sari aren dulu ah... asli loh, tidak memabukkan"][/caption]

Dari ceritanya, Daeng Conci mendapat musibah, tidak bisa melihat sejak usia muda. Ia tunanetra. Meskipun saat muda dulu ia masih bisa melihat dengan pandangan yang kabur. Seiring berjalannya waktu, kedua matanya mulai gelap. Hingga akhirnya saat ini, ia tak bisa melihat sama sekali. Jika ada cahaya matahari, ia melihat cahaya itu berupa sinar putih.

Aku pun bertanya kepada Daeng Conci. “Bapak lihat saya?” tanyaku. Saat itu aku duduk disampingnya. Sangat dekat jarak antara aku dengannya. Namun, apa disangka, ternyata ia memang tidak melihat aku sama sekali. Ia hanya mendengarkan suaraku.

Andaikan senter, putus kabelnya. Ini bukan katarak. Kalau katarak masih bisa dioperasi,” tutur Daeng Conci.

Pembicaraan kami terus mengalir. Daeng Conci lalu menceritakan kisahnya hidupnya selama mengikuti pengajian Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Untuk sampai ke rumah Daeng Situru, saudaranya, tempat ia mengaji, ia harus berjalan kaki.

Cobalah anda bayangkan. Daeng Conci berjalan kaki seorang diri menyusuri jalan sekitar 1 km. Di tengah hutan. Di sisi jalan terdapat jurang lebar. Jika salah, fatal akibatnya. Namun, percayakan anda, ternyata Daeng Conci bisa melakukannya.

Dimalam pun kadang Daeng Conci datang ke rumah Daeng Situru, tempat ia mengikuti pengajian yang dibina oleh Ustadz Putera. Beberapa meter sebelum rumah Daeng Situru terdapat 4 bilah bambu tersusun. Jembatan kecil itu mau tak mau harus ia lewati. Aku lalu berpikir, bagaimana cara Daeng Conci melewati bambu ini dengan tanpa penerangan dimalam hari? Apalagi dunia memang “hitam” baginya?

[caption id="" align="aligncenter" width="384" caption="Inilah rakitan bambu yang harus dilewati oleh Daeng Conci"][/caption]

Rasa penasaran membuat lisanku tak bisa bertahan. Aku pun membuka suara. “Bagaimana cara bapak bisa pergi ke sana (rumah Daeng Situru)?”, tanyaku.

Aku dengar-dengar saja. Tapi, kalau musim hujan, ku hafal mami,” jawabnya dengan tertawa kecil.

Ustadz Putera bercerita kepadaku tentang susah payahnya Daeng Conci datang mengaji. Saat ia terjatuh, ia bangun sendiri. Ia berjalan tanpa tongkat. Tanpa senter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun