Catatan Akhir Tahun
[caption id="" align="aligncenter" width="413" caption="Nyalakan kembang api dimalam tahun baru sebuah kesalahan, Sumber : Shutterstock"][/caption] MAKASSAR – Langit tampak cerah di Makassar, Kamis (25/12/2014). Padahal, sore tadi, bulir-bulir air jatuh dari langit membasahi bumi. Angkasa tak tak tertutup oleh awan gelap. Melainkan awan putih yang menghiasi angkasa. Kendati rembulan tak terlihat oleh pandangan mata, suasana tampakcerah.
Dari kejauhan, terdengar bunyi mercun dan kembang api. Pak… pak… pak…. Suara letusan itu terdengar bersahut-sahutan. Tiba-tiba, terdengar sekali bunyi yang lebih besar. Dum….
Cahaya kembang api berwarna kuning hasil reaksi unsur natrium berpendar dari bawah naik ke atas lalu menyebar ke segala penjuru dengan formasi yang rapi.Setelah diluncuran ke udara, kembang api menghasilkan warna yang indah. Cahayanya naik ke atas celah-celah langit, menyuguhkan pemandangan yang hanya setahun sekali terlihat. Untuk membuat efek warna tersebut, pyrotechnician harus tahu prinsip reaksi fisika dan kimia. Setelah memperhatikan kembang api, ada rasa aneh yang mengganjal di hati.
Tradisi membakar kembang api atau menyalakan mercun menjelang malam tahun baru adalah tradisi yang salah kaprah. Ada kekeliruan besar terpampang jelas disana.
Secara filosifis, membakar kembang api adalah perwujudan rasa gembira dalam menyambut hari raya tertentu. Dalam hal ini, para pembakar kembang api, bersuka cita karena menghadapi tahun baru.
Tapi, jika kita menggunakan akal sehat, seharusnya, kita harus bersedih dan menangis dimalam tahun baru. Apa pasal? Sudah menjadi ketentuan bahwa : Laa ya’ti alaikum zamanun illa walladzii ba’dahu syarrum minh. Tidak akan datang kepada kalian suatu zaman kecuali zaman sesudahnya akan lebih jelek dari pada zaman sebelumnya (HR Bukhori).Hal ini telah Nabi Muhammad sampaikan 14 abad silam.
Artinya, kerusakan zaman yang akan kita hadapi ditahun 2015 mendatang akan lebih berat dari pada tantangan yang ada di tahun 2014. Kerusakan zaman ditahun depan akan semakin jelas. Kerusakan itu berupa semakin jauhnya manusia dari aturan Quran dan Hadis. Mental manusia semakin bobrok. Semakin nyata kerusakan di permukaan bumi.
Kerusakan tersebut dibuktikan dengan kemaksiatan yang merajalela. Pengaruh Iblis dan bala tentaranya untuk memasukkan manusia ke dalam neraka semakin beraneka ragam.Situs pornografi berkembang bak cendawan dimusim hujan. Perzinahan dianggap sebagai hal yang biasa. Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan yang tanpa batas. Peredaran narkoba dari tahun ke tahun semakin tak terbendung. Parahnya, aturah Quran dan Hadis tidak digubris.
Memang, teknologi semakin berkembang menuju trend positif. Gadget yang mempermudah komunikasi begitu cepat bertransformasi. Smartphone berupa ipad dan tablet semakin murah dan mudah ditemukan dipasaran. Ditambah lagi bermunculan sarana sosial media sekelas Facebook, Twitter, Path, Skype, Line, dan Whats App. Memang kita tidak bisa melawan arus teknologi.
Namun demikian, keimanan yang kuat ditengah arus globalisasi menjadi harga mati. Jika tidak, kita akan terbawa arus hingga sampai pada muara dosa dan neraka. Hanya gara-gara tak sanggup melawan pengaruh Iblis yang menumpang pada teknologi.
Kembali ke persoalan menyalakan kembang api di malam tahun baru. Secara filosofis, menyalakan kembang api di malam tahun baru adalah perbuatan yang salah kaprah. Bukan pada tempatnya. Ibaratnya sama seperti orang lapar yang disuruh keliling lapangan. Gambarannya sama dengan orang haus yang disuruh olahraga. Tentu tidak cocok. Seharusnya, orang lapar dan haus disuguhkan makanan dan minuman.
Bukan rahasia lagi,malam pergantian tahun, justeru diisi dengan kegiatan yang tak berguna. Banyak orang yang berkumpul di pingir-jalan, di tengah kota, di alun-alun, maupun di tempat wisata. Menjelang detik pergantian tahun, secara bersama-sama, mereka menghitung mundur. Sepuluh… sembilan… delapan… tujuh… enam… lima… empat… tiga.. dua... satu.
Dimalam itu, terompet ditiup sekencang-kencangnya. Mercun dan kembang api dibakar. Orang-orang berjingkrak-jingkrak kegirangan sambil tertawa lepas. Bahkan, mereka kumpul kebo, berjoget bersama, minum-minuman keras dan mabuk-mabukan di malam itu. Bukankah itu salah kaprah? Semoga pembaca bisa menjauhi hal demikian.
Janganlah salah dalam bernalar. Janganlah keliru dalam memberikan respon. Sudah saatnyamengoreksi kebiasaan berhura-hura di malam tahun baru. Sebaliknya, kita harus bersedih, mengevaluasi diri (muhasabah), dan mempersiapkan diri dalam menghadapi pengaruh setan yang akan lebih berat di tahun depan.
Suara mercun masih saja terdengar. Jam telah menunjukkan pukul 22.01 Wita.Langit Makassar masih dihiasi oleh kembang api. Bunyinya bahkan menggelegar bak suara petir. Mendentum hingga membekas ke relung hati. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H