Daun kopi yg siap di proses menjadi kopi kawa daun di sebuah usaha kecil di kab. lima puluh kota, sumbar, (dokumen pribadi)
Tanaman Kopi sudah lama menjadi komoditi pertanian di Sumatera Barat, sejak zaman Belanda dulu tanaman kopi sudah ditanam masyarakat, namun sayang karena zaman penjajahan, pada waktu itu biji kopi harus dijual kepada Kompeni, hingga masyarakat tidak sempat menikmati minum kopi bubuk yg dibuat dari biji.
Pepatah kita mengatakan bahwa Tidak rotan akar pun jadi. Urang awak tidak kehabisan akal, tak bisa biji, daun pun jadi, entah siapa yg memulai, untuk melepas kerinduan minum kopi urang awak membuat minuman kopinya dari daun kopi, yang disini dinamakan “Minum Kawa”.
Minum Kawa juga berarti beristirahat setelah bekerja disawah atau diladang, pada waktu mana si isteri membawakan minum kawa dan makanan kecil seperti goreng ubi untuk sang suami yg telah penat bekerja sambil mauduik (merokok).
Setelah Indonesia Merdeka, biji kopi mulai dibuat menjadi kopi bubuk, yang dengan kemajuan zaman, kopi bubuk bisa diolah menjadi berbagai minumn dengan berbagai campuran, hingga lama kelamaan Minum Kawa jadi terpinggirkan.
Sifat manusia yg cepat bosan menimbulkan inspirasi bagi entrepreneur di Ranah Minang, kalau dulu Minum Kawa dibuat untuk kepentingan pribadi dan tidak diperdagangkan, sekarang Minum Kawa dijadikan komoditi dagang sebagai pelengkap jualan utama yaitu goreng-gorengan, seperti yg saya lihat disepanjang jalan antara Batusangkar – Bukittinggi, tepatnya di Nagari Tabek Patah (16 KM dari Kota Batusangkar), kecamatan Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar, Propinsi Sumatera Barat, bermunculan seperti cendawan tumbuh apa yg mereka namakan Pondok (Warung) Goreng).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H