Mungkin tidak ada lagi “kata atau bahkan kalimat” yang dapat menggambarkan kegetiran atas tindakan amoral dan biadap itu. Seorang gadis belia bernama “Yuyun” diperkosa beramai-ramai oleh 14 orang remaja yang tengah dalam pengaruh minuman keras sesaat setelah pulang sekolah. Lebih parahnya lagi, setelah diperkosa “Yuyun” dibunuh dan kemudian jasadnya dibuang ke jurang. Entah apa yang terpikirkan oleh para pelaku yang sebegitu tega dan beringasnya memutus harapan/cita-cita dan memisahkan “Yuyun”dari keluarga yang dicintainya untuk selama-lamanya.
Kasus pemerkosaan secara kolektif tersebut mengundang empati dan mengusik nurani berbagai pihak, termasuk Presiden Jokowi yang akhirnya meningkatkan status kekerasan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Peningkatan status tersebut dilakukan oleh Presiden setelah mempertimbangkan desakan publik yang menuntut kehadiran negara dalam mengatasi maraknya tindakan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia.
Dalam beberapa hari ini beredar kabar di media cetak dan elektronik, bahwa pemerintah sedang menggodok rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Kekerasan Seksual terhadap Anak, yang diharap mampu memunculkan solusi (problem solving) dan menanggulangi (criminal policy) semakin mewabahnya (baik dari segi kualitas maupun kuantitas) praktik kekerasan seksual terhadap anak (pedofilia).
Salah satu opsi yang dikedepankan oleh pemerintah dengan mendorong pemberian sanksi pidana bersifat kumulatif, berupa hukuman pokok dan hukuman tambahan bagi para pelaku. Adapun hukuman pokok meliputi penambahan ancaman masa hukuman penjara dari paling lama 15 tahun, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, menjadi paling lama 20 tahun penjara.
Sedangkan hukuman tambahan berupa hukuman kebiri, pemasangan chip, dan publikasi identitas pelaku. Formulasi hukuman tambahan tersebut dimaksudkan oleh pemerintah (policy making) untuk memusnahkan hasrat seksual serta pemberian sanksi sosial bagi para pelaku. Akan tetapi terhadap upaya penjatuhan hukuman kebiri tersebut, memuncul respon pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat.
Di satu sisi yang pro (mendukung) hukuman kebiri beranggapan bahwa hukuman kebiri akan menjerakan dan setimpal dengan perbuatan pelaku. Di sisi yang kontra (menolak) beranggapan hukuman kebiri tidak akan menyelesaikan persoalan dan malah menimbulkan masalah yang baru. Dari fetakompli tersebut, penulis akan mencoba memberikan pandangan atas persoalan ini melalui perspektif konstitusi (UUD NRI 1945).
Hak Konstitusional dan Hak Asasi
Di tinjau dari sudut pandang (point of view) konstitusi, hukuman kebiri secara yuridis formil melanggar hak konstitusional (constitutional rights) dan hak asasi manusia (human rights) pelaku kekerasan seksual, sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (1), yang berbunyi “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Terlepas dari persoalan, apakah bobot perbuatan itu dikategorikan sebagai perbuatan yang mengguncang rasa kemanusian kita atau tidak. UUD NRI 1945 memberikan perlindungan konstitusional bagi setiap warga negara, termasuk pelaku kekerasan seksual untuk mendapatkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Oleh karena itu, negara atas dasar apapun tidak diperkenankan menutup peluang pelaku kekerasan seksual terhadap anak untuk memiliki keturanan, mewujudkan perkawinan, dan memperbaiki dirinya. Hal itu sejalan dengan prinsip utama hukum pidana yang menekankan pembinaan dan bukan terbatas hanya menjerakan para pelaku tindak pidana.
Berdasarkan pemahaman itu dan sejalan dengan asas hierarki perundang-undangan, maka dapat di tarik hipotesa bahwa pemberlakuan pemidanaan kebiri secara yuridis formal bertentangan dengan UUD NRI 1945, yang merupakan sumber hukum utama pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebab itu, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan secara matang dan mendalam pemberlakuan hukuman kebiri. Jangan sampai belum apa-apa, eksistensi pemidanaan kebiri sudah dibatalkan keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi atau DPR (pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang) melalui mekanisme judicial reviewdan legislative review, karena dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Tidak Menyelesaikan Persoalan
Pemerintah, baik itu diera kepemimpinan Jokowi atau sebelum-sebelumnya, seringkali menerapkan obat penangkal untuk berbagai persoalan di negeri ini tapi tidak menyelesaikan persoalan mendasar. Malah dalam memilih berbagai obat penangkal tersebut, pemerintah terkesan hanya memenuhi ekspetasi publik dan cenderung emosional atau dapat dikatakan malas berpikir. Padahal dalam menyelesaikan suatu persoalan fundamental dibutuhkan kematangan berfikir untuk menjangkau seluruh aspek, mulai dari penerapan, pembiayaan, eksekusi sampai dengan metode pencegahannya.