Problem Norma Hukum yang Kurang Tegas
Dalam mewujudkan demokrasi subtansial dibutuhkan norma hukum dengan pengenaan hukuman yang menjerakan bagi para pelaku pelanggaran pemilihan.
Hal itu diperlukan sebagai instrument pembinaan dan penanggulangan secara preventif maupun refresif.
Namun demikian, dalam berbagai revisi UU Pilkada tidak satupun diketemukan norma hukum yang bersifat aplikatif dan menjerakan.
Misalnya saja berkenaan norma hukum yang memuat materi diskualifikasi pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif, sebagaimana ditentukan dalam  Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2) Juncto Pasal 135A ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Sesungguhnya ketentuan Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2) Juncto Pasal 135A ayat (1) Undang-Undang No. 10 2016, dimaksudkan oleh para pembentuk undang-undang (policy making) sebagai rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) guna mengubah kebiasaan buruk pasangan calon kepala daerah  dan wakil kepala daerah, tim pemenangan, dan masyarakat yang senantiasa menempatkan uang sebagai stimulus utama memikat hati pemilih dan  pemilih dalam menggunakan hak pilihnya.
Dengan eksistensi norma tersebut diharapkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berserta tim  pemenangannya tidak melakukan tindakan-tindakan berupa menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan (KPU beserta jajarannya maupun Bawaslu beserta jajarannya) dan/atau Pemilih.
Secara faktual, pengenaan sanksi diskualifikasi kepada pasangan calon kepala daerah dan wakil kelapa daerah terkesan hambar, tidak tegas atau setengah-setengah atau tidak memberikan efek penjerahan sama sekali. Seyogyanya sanksi diskualifikasi pasangan tidak dalam rezim pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif, karena pada prinsipnya setiap penggunaan uang (money politic) dalam konteks mempengaruhi penyelenggara pemilihan maupun pemilih sudah dapat dikategorikan sebagai perbuatan berskala berat atau tidak dapat ditolelir dan berimplikasi signifikan terhadap hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Oleh karena itu, meskipun tindakan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah beserta tim pemenangannya yang melakukan money politic dan mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih terbukti terkonfirmasi hanya 1 (satu) peristiwa (tidak kumulatif terstruktur, sistematis, dan massif), maka sudah seharusnya dapat dikenakan sanksi pembatalan kepesertaan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Formulasi tersebut sejalan dengan amanat ketentuan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, yang mengatur keharusan menjunjung tinggi hukum dan pemerintahanan.
Oleh karena itu, segala  tindakan tidak jujur yang dilakukan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah beserta tim pemenangannya yang melanggar kewajiban untuk menjunjung tinggi hukum dan demokrasi harus diberikan sanksi yang bersifaf menjerakan dan membina berupa pendiskualifikasian kepesertaannya.