Kata “asap” begitu akrab (familiar) ditelinga kita akhir-akhir ini. Pemberitaannya menghiasi dihampir semua media electronik dan halaman utama media cetak ternama, baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri. Pertanyaannya kemudian, apa yang salah dengan asap, sehingga mendapatkan porsi (space) pemberitaan sedemikian besarnya.
Faktanya beberapa bulan ini “asap” menjadi momok yang meresahkan/menggangu interaksi sosial kemasyarakatan serta menghambat laju perekonomian disebagian wilayah di Indonesia dan merembet ke negara tetangga (Malaysia dan Singapura). Namun demikian, patutkah kita memposisikan “asap” sebagai penyebab utama (hubungan causalitas) atas segala akses negatif yang ditimbulkannya. Apabila ditelusuri lebih mendalam, maka kita akan mendapati faktor utama pemberitaan negatif terkait asap, ialah praktik membakar lahan dan hutan untuk kepentingan kapitalis yang berimplikasi pada sistematisnya bencana kabut asap di negeri ini.
Selama ini praktik membakar lahan dan hutan berpusat di wilayah pulau Sumatra dan Kalimantan. Hal ini dikarenakan sebagian besar lahan dan hutan di wilayah itu telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan sawit. Akan tetapi sangat disayangkan kini praktik tersebut latah dan mewabah ke wilayah Sulawesi dan Papua.
Penyebaran itu dapat dideteksi berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Di wilayah pulau Sulawesi terdapat 801 titik hotspot (titik panas). Dari 801 hotspot di Sulawesi berasal dari lahan pertanian dan perkebunan. Sedangkan di wilayah Papua berdasarkan hasil pantuan satelit Terra Aqua, terdeteksi pembakaran hutan dan lahan terjadi di wilayah Kabupaten Merauke dan Mappi. Hostpot ini sudah berlangsung sejak dua bulan yang lalu. Namun belum ada pernyataan darurat dari Kepala Daerah dari daerah-daerah yang wilayahnya terbakar.
Pertanyaan lebih lanjut yang mengemuka, mengapa praktik pembakaran lahan dan hutan ini semakin sistematis dan meluas. Penulis beranggapan, ada tiga hal pokok penyebabnya. Pertama, semakin gencarnya pembukaan lahan baru oleh pengusaha dan penduduk untuk kepentingan penanaman sawit. Kedua, relasi simbiosis mutualisme antara pengusaha perkebunan (pemilik modal) dan pasangan calon kepala daerah dan kepala daerah terpilih (yang dimodali). Seperti diketahui bersama dan menjadi rahasia umum bahwa kebutuhan finansial yang diperlukan untuk berpartisipasi dan memenangi kontestasi pemilihan kepala daerah sangatlah besar. Biasanya pada posisi ini pengusaha perkebunan menawarkan/menyumbangkan dana dalam jumlah nominal besar untuk pemenangan pasangan calon kepala daerah yang tentu saja dengan imbalan dipermudah izin lokasinya. Ketiga, mobilisasi pemilih (pegawai perkebunan) guna memilih pasangan calon kepala daerah tertentu. Dengan sumber daya manusia yang berlimpah, tentu para pengusaha perkebunan memiliki daya tawar (bargaining) yang tinggi.
Dari akumulasi pembukaan lahan perkebunan sampai relasi simbiosis mutualisme antara perusahaan pekebunan dan kepala daerah tersebut berimbas pada mewabahnya praktik pembakaran lahan dan hutan. Sehingga, wajar jika pemerintah daerah kurang konsen/peduli terhadap persoalan ini.
Negara Kesejahteraan dan Proteksi Konstitusional
Konsep negara kesejahteraan (welfare state) memberikan tanggung jawab kepada negara terhadap kesejahteraan warganya. Konsep sejahtera dimaknai sebagai kondisi sejahtera (well being) yang biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material (Edi Suharto : 2006).
Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya (Midgley:2000). Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945, yang menyatakan “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Lebih lanjut dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, juga mangamanatkan kepada pemerintah untuk bertanggung jawab meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
Apabila menilik bencana kabut asap yang berdampak meluas (masif), maka negara yang dipersonifikasikan kepada Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dapat dikategorikan telah gagal dan lalai menjalankan amanat konstitusi guna menjamin kesejahteraan rakyat dengan menghadirkan lingkungan yang baik dan sehat.
Tidak main-main kegagalan pemerintah ini menghasilkan derita bagi masyarakat yang terdampak bencana kabut asap. Sebagai contoh, di Provinsi Riau jumlah penderita infeksi saluran pernafasan akut atau (ISPA) dari kebakaran hutan dan lahan di Riau mencapai 44.871 jiwa yang tersebar di beberapa kabupaten dan kota (Data Dinas Kesehatan Provinsi Riau). Sedangkan di Provinsi Kalimantan Selatan penderita ISPA akibat bencana kabut asap terhitung dari bulan Januari hingga Agustus 2015, terdapat 10.639 warga terserang ISPA. Dan yang lebih memilukan lagi, 87 persen dari total penderita ISPA di Provinsi Kalimantan Selatan itu adalah bayi dan balita yang berusia kurang dari satu hingga empat tahun. Totalnya ada 9.272 orang di 13 kabupaten/kota Kalimantan Selatan. Sementara penderita ISPA di atas lima tahun sebanyak 1367 (Data Dinas Kesehatan Provinsi Kelimantan Selatan).