Di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, diperkirakan akan menjadi yang tercepat di Asia Tenggara, terdapat ironi mengejutkan yaitu kesenjangan ekonomi yang terus melanda negara ini. Meskipun data makroekonomi menunjukkan angka yang mengesankan, namun kenyataannya di lapangan sangat berbeda. Dari Jakarta yang megah hingga desa-desa terpencil di  Papua,  kesenjangan pendapatan dan kekayaan semakin melebar. Pertumbuhan  perkotaan dan kawasan industri besar yang intensif menyebabkan sebagian besar wilayah berada dalam bayang-bayang keterbelakangan sehingga menimbulkan permasalahan sosial dan ekonomi yang serius.
Ketimpangan ini bukan hanya soal angka, namun juga soal kondisi. Bayangkan seorang pertani terpencil di  Kalimantan  berjuang untuk menghidupi keluarga dengan pendapatan  jauh di bawah garis kemiskinan, sementara kota metropolitan Jakarta dipenuhi gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan mewah yang melambangkan kekayaan.  Situasi ini mencerminkan kesenjangan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang memadai. Dalam jangka panjang, ketimpangan ini tidak hanya mengancam stabilitas sosial namun juga menghambat kemungkinan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan di seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Artikel ini  mengupas lebih detail situasi perekonomian Indonesia yang timpang dan menyajikan data serta fakta yang relevan.
Perekonomian Indonesia bersifat heterogen, terutama disebabkan oleh faktor geografis yang penting, terutama yang berkaitan dengan Pulau Jawa. Pulau Jawa memiliki banyak gunung berapi yang menyediakan lahan subur untuk pertanian, namun juga merupakan pusat perekonomian dan pemerintahan Indonesia. Pulau Jawa jauh lebih maju dibandingkan pulau-pulau lain karena infrastrukturnya yang berkembang dengan baik, akses yang mudah terhadap layanan pendidikan dan kesehatan, serta terkonsentrasinya industri dan pasar tenaga kerja.  Di sisi lain, wilayah seperti Papua, Kalimantan, dan Nusa Tenggara  memiliki keterbatasan akses terhadap infrastruktur dasar, medan yang sulit, dan kebutuhan investasi yang minim, sehingga menyebabkan keterbelakangan pembangunan ekonomi dan kesenjangan yang semakin parah.
Salah satu indikator kesenjangan ekonomi yaitu ketimpangan pendapatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), koefisien Gini Indonesia akan menjadi 0,38 pada tahun 2023. Meski sedikit menurun dibandingkan tahun lalu, angka tersebut masih menunjukkan ketimpangan yang signifikan. Di Jakarta, pendapatan per kapita mencapai lebih dari Rp 130 juta per tahun, sedangkan di Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya sekitar Rp 20 juta per tahun. Perbedaan ini mencerminkan ketimpangan yang signifikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Akses terhadap pendidikan dan kesehatan juga merupakan faktor yang memperparah ketimpangan ekonomi.  Di daerah terpencil seperti Papua dan Kalimantan, angka melek huruf dan akses terhadap layanan kesehatan dasar masih sangat rendah. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hanya sekitar 60% anak-anak di Papua yang lulus sekolah dasar, jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 90%. Selain itu, menurut data Kementerian Kesehatan, tingkat dokter  di Jakarta adalah 3,4 per 1.000 penduduk, dibandingkan dengan Papua yang hanya 0,3.  Ketimpangan ini menyebabkan perbedaan besar dalam kualitas hidup  antar wilayah.
Ketimpangan infrastruktur juga memberikan kontribusi signifikan terhadap ketimpangan ekonomi. Wilayah seperti Jawa dan Sumatra memiliki jaringan jalan, listrik, dan komunikasi yang jauh lebih baik dibandingkan  wilayah timur Indonesia. Menurut laporan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 95% jalan di Pulau Jawa berada dalam kondisi baik, dibandingkan dengan Papua yang hanya 60%. Hal ini menghambat mobilitas dan akses pasar bagi penduduk daerah tertinggal, sehingga memperburuk kesenjangan ekonomi.
Ketimpangan ekonomi mempunyai implikasi yang luas tidak hanya terhadap perekonomian namun juga terhadap stabilitas sosial. Â Tingkat kesenjangan yang tinggi dapat menimbulkan ketidakpuasan dan konflik sosial. Menurut penelitian Bank Dunia, wilayah dengan kesenjangan yang lebih besar cenderung memiliki tingkat kejahatan yang lebih tinggi. Selain itu, ketimpangan juga menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, karena mayoritas penduduk tidak memiliki akses yang memadai untuk berkontribusi secara produktif terhadap perekonomian.
Pemerintah Indonesia telah melaksanakan program pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal, seperti program  Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Namun masih banyak tantangan yang dihadapi, termasuk  korupsi, lambatnya birokrasi, dan kurangnya koordinasi antar lembaga. Untuk mencapai kesetaraan ekonomi yang lebih besar diperlukan kebijakan yang lebih tepat sasaran dan implementasi yang efektif.
Ketimpangan ekonomi di Indonesia merupakan tantangan besar yang memerlukan perhatian serius dan tindakan nyata. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, masih banyak ruang untuk perbaikan dalam hal distribusi pendapatan, akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur. Dengan kebijakan yang tepat dan implementasi yang efektif, Indonesia mempunyai potensi untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan serta memastikan adanya kesempatan yang sama bagi seluruh warga negara untuk mencapai kesejahteraan. Mari kita bersinergi menuju Indonesia yang lebih adil dan makmur, dimana semua daerah bisa sama-sama sejahtera dan maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H