Mohon tunggu...
Vasco Yehezkiel Sidauruk
Vasco Yehezkiel Sidauruk Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Iklim

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Pengaruh Kondisi Iklim terhadap Persebaran, Adaptasi dan Kelangsungan Hidup Pohon Bayur (Pterospermum javanicum) di Sumatera

9 November 2024   22:22 Diperbarui: 9 November 2024   22:26 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Pohon Bayur merupakan tanaman endemik yang banyak ditemukan di wilayah Sumatra. Tanaman ini dikenal karena kayunya yang berkualitas dan kegunaannya dalam pengobatan tradisional [1]. Pohon Bayur umumnya tumbuh di hutan riparian dan pesisir, menunjukkan kemampuan adaptasinya terhadap berbagai lingkungan hutan tropis [2]. 

Mengingat adanya perubahan iklim global, penting bagi kita untuk memahami bagaimana iklim dan kondisi lingkungan memengaruhi pertumbuhan, adaptasi dan kelangsungan hidup pohon ini. Artikel ini akan membahas karakteristik iklim Sumatra, pengaruhnya terhadap pohon Bayur dan bentuk adaptasi pohon ini terhadap perubahan iklim serta dampak lingkungan terhadap keberlanjutannya.

Karakteristik Iklim di Sumatra Sumatra

Sumatra sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia memiliki iklim tropis basah yang mendukung pertumbuhan vegetasi hutan hujan. Karakteristik iklim di Sumatra dapat diuraikan sebagai berikut [3] :

  • Curah Hujan Tinggi

Curah hujan tahunan di Sumatra berkisar antara 2000 hingga 4000 mm tergantung wilayah dan ketinggian [3]. Sebagian besar hujan turun selama musim penghujan yang biasanya berlangsung dari November hingga Maret.

  • Suhu Stabil dan Lembap

Suhu di Sumatra cenderung stabil antara 23-28C dengan kelembapan tinggi sepanjang tahun. Kelembapan udara biasanya berkisar 70-90%.

  • Variasi Ketinggian

Sumatra memiliki variasi topografi yang beragam mulai dari dataran rendah, pegunungan hingga perbukitan yang memengaruhi distribusi mikroklimat di setiap kawasan.

Iklim unik ini menciptakan lingkungan ideal bagi spesies tumbuhan tropis termasuk pohon Bayur. Namun perubahan iklim yang memperburuk intensitas musim kemarau atau menyebabkan cuaca ekstrem berpotensi mengancam keseimbangan ekosistem alami. 

Penelitian menunjukkan bahwa perubahan tutupan lahan, terutama deforestasi, berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim lokal. Ditemukan bahwa suhu permukaan tanah di hutan evergreen berdaun lebar dan area perkotaan di Sumatra Utara mengalami peningkatan tertinggi, yaitu masing-masing 0,4 dan 0,5 C per dekade [4].

Pengaruh Unsur Iklim terhadap Pertumbuhan Pohon Bayur

Pohon Bayur sangat bergantung pada kondisi iklim tropis basah untuk mendukung siklus hidupnya. Beberapa unsur iklim yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pohon ini yaitu curah hujan, kelembapan dan suhu. Curah hujan tinggi sangat penting bagi pohon Bayur. 

Air yang cukup memungkinkan pohon ini menyerap nutrisi dari tanah dan mempertahankan kelembapan di area perakaran. Pola curah hujan yang stabil sepanjang tahun mendukung pertumbuhan vegetatif dan menjaga produksi daun serta kayu. Semenara itu, Kelembapan tinggi di Sumatra membantu mengurangi penguapan berlebihan dari daun pohon Bayur. 

Hal ini berperan penting terutama di musim panas ketika suhu meningkat namun kelembapan tetap membantu menjaga keseimbangan air dalam jaringan tanaman. Kemudian suhu yang stabil juga mendukung proses fotosintesis optimal pada pohon Bayur. Variasi suhu ekstrem seperti kenaikan suhu global yang drastis dapat mengganggu laju fotosintesis dan mengakibatkan stres termal.

Adaptasi Pohon Bayur terhadap Perubahan Iklim Lokal

Pohon Bayur telah mengembangkan berbagai mekanisme adaptasi untuk bertahan hidup di iklim tropis Sumatra. Kemampuan adaptasi ini sangat menarik untuk dipelajari karena menunjukkan ketahanan alami pohon dalam menghadapi perubahan lingkungan.

  • Daun Berlapis Lilin

Daun pohon Bayur memiliki lapisan lilin yang unik di permukaannya. Lapisan ini tidak hanya melindungi dari kehilangan air berlebih tapi juga berperan sebagai pelindung dari radiasi UV yang intens. Struktur ini memungkinkan pohon Bayur tetap tumbuh optimal bahkan saat intensitas matahari tinggi. Di musim kemarau lapisan lilin ini menjadi lebih tebal sebagai respons adaptif terhadap kondisi lingkungan yang lebih kering.

  • Sistem Perakaran yang Kompleks

Pohon Bayur mengembangkan sistem akar yang sangat adaptif. Selain memiliki akar tunggang yang dalam akar-akar lateral pohon ini juga membentuk jaringan yang luas. Sistem perakaran ini tidak hanya berfungsi untuk mencari air tapi juga membentuk simbiosis dengan mikroorganisme tanah. Hal ini meningkatkan kemampuan pohon dalam menyerap nutrisi dan air bahkan dalam kondisi tanah yang kurang menguntungkan.

  • Mekanisme Pengaturan Stomata

Sistem pengaturan stomata pohon Bayur sangat responsif terhadap perubahan lingkungan. Stomata dapat membuka dan menutup dengan cepat mengikuti perubahan intensitas cahaya, suhu dan kelembapan udara. Yang menarik pohon ini mampu mempertahankan fotosintesis optimal bahkan saat stomata hanya membuka sebagian. Kemampuan ini membuat pohon Bayur sangat efisien dalam penggunaan air.

  • Adaptasi Reproduktif 

Pohon Bayur mengembangkan strategi reproduksi yang disesuaikan dengan iklim lokal. Pembungaan biasanya terjadi di awal musim hujan untuk memaksimalkan keberhasilan penyerbukan. Biji-bijinya memiliki sayap yang membantu penyebaran oleh angin dan dapat bertahan lama dalam kondisi dorman sampai kondisi lingkungan mendukung untuk berkecambah.

Selain itu, pohon-pohon di kawasan tropis, termasuk Pohon Bayur, telah menunjukkan kemampuan untuk bermigrasi ke ketinggian yang lebih tinggi sebagai respons terhadap peningkatan suhu [5]. Sistem agroforestri yang mengintegrasikan pohon dengan tanaman pertanian dan ternak juga dieksplorasi sebagai strategi adaptasi terhadap perubahan iklim [7].

Dampak Perubahan Iklim dan Upaya Konservasi

Perubahan iklim global menghadirkan berbagai tantangan bagi kelangsungan hidup pohon Bayur. Kenaikan suhu rata-rata dapat mengubah pola pembungaan dan pembuahan. Pergeseran musim hujan memengaruhi siklus reproduksi alami. Cuaca ekstrem seperti badai dan kekeringan berkepanjangan dapat merusak populasi pohon secara langsung.

Selain perubahan iklim, pohon Bayur juga menghadapi ancaman dari aktivitas manusia. Pembukaan lahan untuk pertanian dan pemukiman mengurangi habitat alaminya. Fragmentasi hutan memutus konektivitas antar populasi yang penting untuk pertukaran genetik. Eksploitasi berlebihan untuk kayu dan obat tradisional juga mengancam populasi yang tersisa.

Berkurangnya populasi pohon Bayur memiliki dampak berantai terhadap ekosistem. Berbagai spesies serangga, burung dan mamalia kecil yang bergantung pada pohon ini untuk makanan dan tempat tinggal ikut terpengaruh. Hilangnya pohon Bayur juga mengurangi kemampuan hutan dalam menyerap karbon dan mengatur iklim mikro.

Sebuah studi menunjukkan bahwa spesies endemik 2,7 kali lebih mungkin menghadapi kepunahan akibat peningkatan suhu yang tidak terkendali dibandingkan dengan spesies yang memiliki persebaran lebih luas [8]. Hal ini sangat mengkhawatirkan bagi kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi seperti Indonesia, termasuk Sumatra.

Upaya Konservasi yang Diperlukan

Diperlukan upaya serius untuk melindungi kawasan hutan yang masih memiliki populasi pohon Bayur. Ini termasuk penentuan zona konservasi khusus dan pengelolaan kawasan penyangga. Rehabilitasi habitat yang rusak perlu dilakukan dengan melibatkan masyarakat lokal. 

Selain itu, pembentukan bank benih pohon Bayur sangat penting untuk menjaga keragaman genetik. Koleksi benih dari berbagai populasi dapat menjadi cadangan untuk program restorasi di masa depan. Penelitian tentang teknik penyimpanan dan perkecambahan benih juga perlu ditingkatkan. Program penelitian jangka panjang diperlukan untuk memahami respons pohon Bayur terhadap perubahan iklim. 

Monitoring populasi secara regular membantu mendeteksi perubahan dan mengambil tindakan yang tepat. Studi tentang variasi genetik antar populasi juga penting untuk strategi konservasi. Pembentukan koridor biologis juga penting untuk memfasilitasi migrasi spesies tanaman ke elevasi yang lebih tinggi sebagai respons terhadap perubahan iklim [10].

Penutup

Pohon Bayur merupakan spesies kunci dalam ekosistem hutan Sumatra yang memiliki nilai ekologis dan ekonomis tinggi. Kemampuan adaptasinya yang mengagumkan telah memungkinkan spesies ini bertahan selama ribuan tahun. Namun tantangan perubahan iklim dan tekanan antropogenik membutuhkan upaya konservasi yang lebih intensif. 

Dengan memahami karakteristik dan kebutuhan spesies ini kita dapat mengembangkan strategi pelestarian yang efektif. Menjaga kelangsungan hidup pohon Bayur bukan hanya tentang melindungi satu spesies tapi juga menjaga keseimbangan ekosistem hutan tropis Sumatra secara keseluruhan.

Artikel ini telah memaparkan bagaimana kondisi iklim memengaruhi kehidupan pohon Bayur serta berbagai upaya yang diperlukan untuk melestarikannya. Diharapkan informasi ini dapat menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut dan pengembangan program konservasi yang lebih terarah di masa depan.

Daftar Pustaka

  1. Wikipedia. (n.d.). Bayur. Retrieved from https://id.wikipedia.org/wiki/Bayur
  2. Soepadmo, E., Saw, L. G., & Chung, R. C. K. (Eds.). (2002). Tree Flora of Sabah and Sarawak. Forest Research Institute Malaysia.
  3. Aldrian, E., & Susanto, R. D. (2003). Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. International Journal of Climatology, 23(12), 1435-1452.
  4. Hariyadi, B., & Ticktin, T. (2012). From shifting cultivation to cinnamon agroforestry: Changing agricultural practices among the Serampas in the Kerinci Seblat National Park, Indonesia. Human Ecology, 40(2), 315-325.
  5. Ramdani, F., Moffiet, T., & Hino, M. (2014). Local surface temperature change due to expansion of oil palm plantation in Indonesia. Climatic Change, 123(2), 189-200.
  6. Colwell, R. K., Brehm, G., Cardels, C. L., Gilman, A. C., & Longino, J. T. (2008). Global warming, elevational range shifts, and lowland biotic attrition in the wet tropics. Science, 322(5899), 258-261.
  7. Verchot, L. V., Van Noordwijk, M., Kandji, S., Tomich, T., Ong, C., Albrecht, A., ... & Palm, C. (2007). Climate change: linking adaptation and mitigation through agroforestry. Mitigation and adaptation strategies for global change, 12(5), 901-918.
  8. Urban, M. C. (2015). Accelerating extinction risk from climate change. Science, 348(6234), 571-573.
  9. Sodhi, N. S., Koh, L. P., Brook, B. W., & Ng, P. K. (2004). Southeast Asian biodiversity: an impending disaster. Trends in ecology & evolution, 19(12), 654-660.
  10. Imbach, P. A., Locatelli, B., Molina, L. G., Ciais, P., & Leadley, P. W. (2013). Climate change and plant dispersal along corridors in fragmented landscapes of Mesoamerica. Ecology and evolution, 3(9), 2917-2932.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun