Mohon tunggu...
Dionisius Damastya
Dionisius Damastya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Mahasiswa biasa yang berkarya lewat tulisan-tulisan kecil.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Menjadi Calon Pendidik yang Berkarakter di Sekolah Kebangsaan

6 November 2024   21:41 Diperbarui: 6 November 2024   22:14 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Pengalaman adalah guru yang paling berharga. Setidaknya itulah yang saya sadari dari banyaknya perjumpaan dengan guru maupun peserta didik di SMA Negeri 11 Yogyakarta. Tidak hanya sekedar perjumpaan saja, namun lebih jauh dari itu saya memaknai sebuah hal yang tampak dalam diri guru maupun peserta didik di sana. Satu hal yang saya tangkap dan kemudian saya refleksikan adalah adanya penanaman karakter yang kuat di sekolah ini. Tidak hanya sekedar karakter peserta didik pada umumnya, namun lebih jauh agar peserta didik memiliki karakter kebangsaan yang kuat.

Sebelum lebih jauh membahas mengenai karakter seperti apa yang ditanamkan di sekolah ini, saya selalu memikirkan kegiatan PLP LS ini secara berlebihan. Bahasa gaul sekarang adalah overthinking. Saya selalu berpikir bahwa sebagai calon pendidik, sekolah adalah hal yang menakutkan. Menakutkan dalam konteks ini bahwa saya sebagai calon guru harus mampu menghadapi berbagai macam sifat dan sikap peserta didik, selain juga harus mengajar dan mendidik mereka. Ketakutan ini kemudian masih sempat terbawa ketika pada saat penerjunan kegiatan PLP LS dan PP di sekolah. Mungkin juga ketakutan ini disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri yang saya miliki. 

Seiring berjalannya waktu dengan berbagai macam kegiatan, perjumpaan dengan peserta didik dan guru, dinamika di kelas, dan sebagainya dari hari ke hari, rasa takut dalam diri saya justru berubah menjadi perasaan senang dan bangga. Mengapa demikian? Mungkin jawabannya agak sedikit aneh, tetapi demikianlah yang saya rasakan. Rasa bangga dan senang saya ini karena saya merasakan energi yang positif dari seluruh kegiatan yang saya alami di sana. Dalam kata lain, saya jadi teringat ketika dulu berada di posisi mereka. Duduk dan memperhatikan guru yang sedang mengajar, terkadang bosan dan mengantuk, terkadang juga asik sendiri bahkan membuat kelas menjadi ramai, dan lain sebagainya menjadi teringat kembali dalam memori saya.

Selama kurang lebih sepuluh hari, saya terjun langsung ke sekolah dan merasakan dinamika menjadi seorang pendidik. Tentu banyak hal yang saya dapatkan dan resapi. Jika saya ceritakan seluruhnya, mungkin agaknya akan menjadi sebuah buku atau novel. 

Sekolah yang sedang saya tempati untuk kegiatan PLP LS ini disebut-sebut sebagai sekolah Adiwiyata. Awalnya saya berpikir bahwa sekolah Adiwiyata adalah sekolah yang peduli dengan lingkungan dan memang benar. Akan tetapi, hal yang membuat saya terkejut sekaligus menarik perhatian saya adalah ketika saya dan kawan-kawan mahasiswa sedang njajan di kantin sekolah. Saya sempat bingung dan heran karena tidak ada tempat atau tong sampah di sana. Kebingungan saya ini lalu disadarkan oleh perkataan salah satu kawan, "kan sekolah Adiwiyata". Saya menyadari sekaligus merenungkan bahwa langkah sekolah untuk peduli terhadap lingkungan tidak hanya sebatas banyak menanam pohon saja. Lebih jauh dari itu, sekolah benar-benar berupaya agar sikap peduli terhadap lingkungan benar-benar terinternalisasi dalam diri peserta didik. Hal inilah yang kemudian dibiasakan oleh sekolah agar setiap peserta didik mampu mengolah sampah yang dibawa dan dihasilkan oleh mereka tiap harinya.

Di lain kesempatan, saya bersama dengan kawan-kawan mahasiswa PLP berkesempatan untuk melakukan piket 5S setiap pagi harinya bersama dengan Bapak dan Ibu guru. Saya kemudian teringat semasa SMA kegiatan semacam ini juga diterapkan di sekolah saya dulu. Saya merasa sangat senang bisa berada di barisan para guru yang menyambut para peserta didik. Dengan mengatupkan kedua tangan sembari menyapa "selamat pagi" dan dibalas sapaan serupa membuat saya menyadari pentingnya saling menghargai antara guru dengan peserta didik. Selain itu, hal serupa mampu membuat peserta didik merasa disambut dan merasa nyaman saat datang ke sekolah. Jika melihat lebih jauh lagi, kegiatan semacam ini mampu mengakrabkan relasi antara guru dengan peserta didiknya. Relasi dan komunikasi antara guru dengan peserta didik merupakan hal yang wajib dibangun dengan baik ketika di sekolah. Di titik ini saya menyadari bahwa menjadi seorang guru tidaklah hanya cukup sekedar mengajar atau melakukan transfer ilmu saja, akan tetapi mampu menjadi teladan agar benar-benar dapat digugu lan ditiru.

Setiap hari Kamis pagi akan diadakan kegiatan afeksi di sekolah. Apa itu kegiatan afeksi? Secara singkat, kegiatan afeksi di SMA Negeri 11 Yogyakarta adalah kegiatan yang mewadahi setiap agama maupun kepercayaan untuk melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Saya dengan kawan-kawan mahasiswa PLP pun berkesempatan mengisi kegiatan afeksi agama Katolik. Sederhananya, kami yang memimpin jalannya ibadat pagi itu. Pengalaman yang baru bagi saya sendiri sekaligus menjadi pengalaman yang berkesan dan akan selalu saya ingat, terlebih pada saat itu tepat hari Kamis Pon sehingga seluruh warga sekolah wajib menggunakan busana Gagrak Ngayogyakarta. Saya yang sedari kecil bersekolah di sekolah swasta, lalu berkesempatan untuk menjajaki sekolah negeri dan mendapatkan pengalaman semacam ini tentu membuat saya senang sekaligus bangga. Sekolah benar-benar menjadi tempat berkumpulnya generasi muda yang haus ilmu dan tidak menghiraukan perbedaan. Dalam kata lain, nilai toleransi benar-benar dijunjung tinggi di sekolah ini. Sekelibat rasa bangga meliputi diri saya. Benar-benar bangga dan sangat terhormat dilahirkan di Indonesia yang masyarakatnya beragam, baik dari suku, agama, RAS, budaya, dan sebagainya.

Tak kalah menarik juga pengalaman perjumpaan saya dengan para guru, terkhusus Ibu Yuara yang menjadi guru pamong kami di sana. Jika boleh dideskripsikan, beliau adalah guru yang sangat baik. Meskipun tugas mengajarnya sangat banyak, namun ia tidak lupa juga tanggung jawabnya dalam "mengayomi" mahasiswa PLP. Satu kata: keren! Saya awalnya merasa takut hendak berinteraksi dengan para guru, namun dengan meyakinkan dan memantapkan diri saya mencoba untuk berbaur dan membangun komunikasi dengan para guru. Saya justru senang bisa bertukar pikiran dan pengalaman dengan para guru yang bersedia menjadi narasumber kami. Satu hal yang saya sadari adalah menjadi guru bukanlah soal mengajar saja, tetapi juga cara mendidiknya yang harus diperhatikan. 

Bagi saya pribadi, materi pelajaran dapat dieksplorasi oleh peserta didik dengan sangat mudah berkat adanya kemajuan teknologi. Akan tetapi yang tidak akan mereka dapat dari situ adalah nilai kehidupan atau value of life. Nilai kehidupan bisa didapatkan lewat pengalaman nyata yang ada di kehidupan sehari-hari, terlebih di sekolah. Salah satu pengalamannya adalah ketika saya mencoba berkomunikasi dengan salah satu peserta didik yang terlambat akibat bangun kesiangan dan ternyata hukumannya adalah menyanyikan lagu Indonesia Raya. Saya awalnya berpikir, apakah hukuman semacam itu mampu membuat peserta didik jera? Akan tetapi ternyata hal yang ingin ditanamkan oleh sekolah bukan hanya masalah efek jera, namun juga cara menanamkan rasa kebangsaan atau nasionalisme. Di kemudian hari dan beberapa hari setelahnya, saya melihat bahwa peserta didik ini sudah tidak terlambat bahkan yang lebih mengejutkan ia terlibat aktif di salah satu organisasi di sekolah.

Semua cerita dan refleksi saya mengenai dunia pendidikan di atas mengarah pada satu poin yakni mengenai penanaman karakter. Sasarannya tidak hanya peserta didik saja, namun juga para guru. Sebagai seorang calon guru yang nantinya akan mengajar di sekolah, saya dituntut untuk tidak hanya menguasai keterampilan mengajar dan akademik saja. Lebih dari itu, upaya saya untuk membangun karakter agar menjadi guru yang dapat diteladani oleh peserta didik menjadi hal yang penting. Sebagaimana guru-guru yang memiliki karakter yang kuat sebagai pendidik di sekolah kebangsaan ini. Guru harus mampu menanamkan nilai atau value yang kuat kepada peserta didik. Inilah tugas seorang guru sebenarnya yakni mendidik. Menjadi seorang guru memanglah tidak mudah dan saya menyadarinya. Proses demi proses, tahap demi tahap harus dijalankan dan dimatangkan agar kelak saya menjadi guru yang benar-benar dapat digugu dan ditiru oleh peserta didik saya.

Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sumber: Dokumentasi Pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun