RUU Kamnas kembali ramai dibicarakan di media massa.Kapuskom Publik Kemhan RI Mayjen TNI Hartind Asrin, mengatakan, RUU Kamnas sekarang berbeda jauh dengan konsep RUU Kamnas yang lama. "Karena dalam RUU Kamnas yang diajukan pemerintah ke DPR sekarang ini, masyarakat sebagai subjek, bukan sebagai objek lagi," kata Hartind. Contoh, di pasal 20 RUU Kamnas, tentang Dewan Kemanana Nasional (DKN) di tingkat nasional dan forum keamanan nasional di tingkat daerah, itu ada anggota tetap dan anggota tidak tetap.
Untuk yang tetap adalah stakeholder seperti Polda, Kepala Daerah, Pangdam, Imigrasi, Kejaksaan, dan lain-lain. Sedangkan anggota yang tidak tetap adalah masyarakat yang memiliki berkompetensi (ormas dll).Misalkan, ada kasus teroris yang berlatar belakang agama. Maka akan dilibatkan tokoh-tokoh ulama, pondok pesantren, untuk duduk di Dewan Keamana Nasional atau Forum (kalau daerah Forum Daerah). Mereka nantinya akan menganalisa dan menentukan siapa saja yang berhak menangani. "Leading sector nya siapa. Misalnya ditentukan Polri, dengan dibantu TNI, maka itulah yang bergerak (menumpas teroris)," kata Hartind seraya menambahkan RUU Kamnas sekarang sudah bagus.
Kemudian, soal kewenangan Polri. Pada pasal 54e RUU Kamnas, dikatakan unsure-unsur keamanan menangkap, menyadap, melakukan tindakan paksa sesuai Undang-Undang. Artinya, jadi kalau menangkap itu Polisi bergerak berdasarkan UU Kepolisian, BIN menyadap sesuai Undang-Undang Intelijen. Jadi,sesuai kewenangan dan tugasnya masing-masing.
Sehingga Undang-Undang ini hanya mensinergikan saja. Secara universal, sistem keamanan nasional itu, ada di setiap negara. Semua negara baik yangg berkembang maupun maju punya sistem ini (RUU Kamnas). Indonesia justru tidak punya.Hal itu, karena kita sudah punya UU organik, tapi belum ada yang mensinergikannya. "UU Kamnas ini telat lahir karena kita terlalu banyak mendiskusikannya," ungkapnya.
Menurut Hartind, kalau ada yang memiliki masukan yang bagus untuk RUU Kamnas, agar datang ke DPR. Di DPR itulah ajang untuk memberikan masukan. Mana lemahnya, mana yang tak diterima. "Gak bagus kalau cuma berkoar-koar di media massa. Kapan kita merasa aman di negeri ini," ujar Hartind.
Lihat saja TNI, saat ini TNI merasa tidak diaktifkan dan tidak diberdayakan. Sehingga bila ada teroris sekarang, TNI tidak peduli karena tidak dilibatkan, padahal dalam operasi teroris, TNI (Kopassus) dibelakang layar banyak membantu. "Waktu saya menjadi Danton, Kasi intel, bergerak saja teroris, di dekat markas saya (Raider Kostrad) di Semarang, kita sudah tau. Saya lebih tau dari Polisi ketika itu.Sekarang justru TNI tak dilibatkan, karena teroris itu dikatakan, sebagai kewenangan Polri. Tidak ada analoginya Polisi mengatakakan ini tugas saya. Tapi, mungkin mereka gengsi untuk meminta bantuan ke TNI," ujarnya.
Jadi, kesimpulannya, harus ada badan yang menentukan. Inilah yang namanya demokrasi, yang menempatkan masyarakat sebagai subjek. "Semua kumpul sama-sama, menentukan siapa yang berhak menentukan ancaman dan siapa yang menindaknya," ucapnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H