Mohon tunggu...
2Aji Setiawan
2Aji Setiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Simpedes BRI a/n Aji Setiawan ST KCP Bukateja no cc: 372001029009535
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

www.ajisetiawan1.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perlunya Jaminan Produk Halal Dalam Negeri

21 Januari 2017   17:46 Diperbarui: 21 Januari 2017   17:58 1260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini ada trend peningkatan permintaan produk halal dunia. Penduduk Muslim dunia yang diperkirakan mencapai 1,57 miliar adalah pasar yang potensial terhadap produk halal.

Indonesia adalah negara konsumen produk halal terbesar dengan jumlah USD 197 miliar) berdasarkan kajian State of The Global Islamic Economy 2013, Thomson Reuters.Kesadaran masyarakat untuk mengkomsumsi produk halal karena lebih aman dan sehat. Namun, sayangnya, Indonesia belum memiliki standar halal dan sistem halal yang terstandar yang diakui dan diterima negara lain. Dan masih ada produk halal Indonesia yang belum diterima di negara lain.

Saat ini, Indonesia masih kekurangan bahan baku industri yang halalan, thoyibah dan murah. Karena Indonesia juga masih kekurangan SDM dan infrastruktur yang memadai terutama tenaga ahli dibidang auditor halal dan produk halal.

Namun demikian, bukan berarti Pemerintah tidak melakukan berbagai upaya. Upaya yang tengah dilakukan pemerintah di antaranya dengan optimalisasi sosialisasi UU JPH secara massif dan intensif kepada seluruh lapisan masyarakat. Perlu didorong penguatan regulasi dan perangkat peraturan terkait penyelenggaraan jaminan produk halal (JPH). Juga, peningkatan anggaran untuk penyediaan SDM, infrastruktur, sarana pendukung pengujian dan riset produk halal. Selain itu, kerja sama internasional juga perlu dilakukan terutama dengan lembaga sertifikat halal luar negeri milik pemerintah dan non pemerintah.

Pemerintah harus merevisi Undang-Undang (UU) No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Selain memberatkan dunia usaha dan sulit diterapkan, UU tersebut berpotensi mengganggu iklim investasi di Tanah Air. Padahal, pemerintah sedang berupaya menggenjot investasi.

Melalui sejumlah perbaikan seperti kemudahan perizinan, pemerintah menargetkan investasi Rp 933 triliun pada 2019 dibanding 2014 senilai Rp 463 triliun. Salah satu poin yang perlu direvisi adalah kewajiban sertifikasi halal pada produk farmasi. Selama ini, obat dan vaksin menggunakan bahan baku kimia dari berbagai negara. Kondisi ini akan menyulitkan lembaga penerbit sertifikat halal dalam melakukan verifikasi.

Pemerintah hingga kini belum berniat mengamendemen UU Jaminan Produk Halal. Alasannya, UU ini bertujuan menjaga kualitas produk yang beredar sekaligus menjaga kesehatan masyarakat. UU ini juga dapat menjegal serbuan produk tidak halal dari berbagai negara, terutama saat Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) diberlakukan sejak akhir 2015.

Sebagai kompensasi, Pemerintah harus memberikan bantuan kepada pengusaha kecil untuk mendapatkan sertifikat halal. Salah satu bentuknya adalah kemudahan proses mendapatkan sertifikat. Hal itu sudah dilakukan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. UU Jaminan Produk Halal disetujui rapat paripurna DPR pada 25 September 2014 dan disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 17 Oktober 2014. Dalam UU yang terdiri atas 68 pasal ini disebutkan, produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

UU itu juga menyatakan pemerintah bertanggung jawab dalam menyelanggarakan jaminan produk halal (JPH). Untuk itulah dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal ((BPJPH) yang bertanggung jawab kepada menteri agama. BPJPH antara lain berwenang merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH, menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH, menerbitkan dan mencabut sertifikat halal pada produk luar negeri, serta melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri.

Dalam melaksanakan wewenang tersebut, BPJPH bekerja sama dengan kementerian atau lembaga terkait, lembaga pemeriksa halal (LPH), dan MUI. UU Jaminan Produk Halal mengamanatkan BPJPH harus dibentuk paling lambat tiga tahun sejak UU tersebut diberlakukan. Sedangkan peraturan pelaksananya harus ditetapkan paling lama dua tahun sejak UU diterapkan.

Adapun kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia mulai berlaku lima tahun sejak UU Jaminan Produk Halal diberlakukan.Sebelum itu, jenis produk bersertifikat halal diatur bertahap berdasarkan peraturan pemerintah (PP).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun