Setiap tanggal 9 Februari masyarakat Indonesia, khususnya insan pers, memperingati Hari Pers Nasional. Peringatan Hari Pers Nasional dimaknai sebagai sebuah pesta rakyat yang memiliki pers yang merdeka sebagai salah satu pilar demokrasi.
Perayaan Hari Pers Nasional dilaksanakan setiap tahun secara bergantian di ibukota provinsi yang berbeda di Indonesia. Untuk tahun ini, peringatan Hari Pers Nasional dilaksanakan di Bengkulu. Namun, mungkin tidak banyak yang mengetahui kapan tepatnya Hari Pers Nasional ditetapkan.
Semuanya berawal pada 9 Februari, 69 tahun yang lalu, ketika diadakan pertemuan untuk membentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Gedung Museum Pers Solo, Jawa Tengah. Gedung ini dulu difungsikan sebagai Kantor Palang Merah Indonesia (PMI).
Namun, bukan pada tanggal tersebut Hari Pers Nasional ditetapkan. Gagasan untuk menjadikan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional muncul pada Kongres ke-16 PWI di Padang, Sumatera Barat. Tidak saat itu pula, rencana peringatan Hari Pers Nasional langsung disetujui, karena baru sebatas gagasan.
Salah satu butir keputusan Kongres PWI di Padang pada 4 Desember 1978 itu adalah cetusan untuk menetapkan suatu hari yang bersejarah guna memperingati peran dan keberadaan pers secara nasional. Kehendak itu diusulkan kepada pemerintah melalui Dewan Pers untuk menetapkan Hari Pers Nasional.
Dalam sidang Dewan Pers ke-21 di Bandung pada tanggal 19 Februari 1981, keinginan itu disetujui Dewan Pers untuk disampaikan kepada pemerintah dan menetapkan penyelenggaraan Hari Pers Nasional.
Hari Pers Nasional akhirnya diselenggarakan setiap tahun pada tanggal 9 Februari yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985.
Tanggal 9 Februari sendiri memiliki nilai historis bagi perkembangan pers di Indonesia karena bertepatan dengan HUT PWI. Pada tanggal 9 Februari 1946 itu diselenggarakan pertemuan wartawan nasional yang melahirkan PWI sebagai organisasi wartawan pertama pascakemerdekaan Indonesia. Soemanang yang juga merupakan pendiri Kantor Berita Antara ditetapkan sebagai Ketua PWI pertama pada pertemuan itu.
Wartawan senior Sulawesi Tengah, Tasrief Siara mengatakan bahwa selama ini HPN lebih pada memperingati hari jadi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), bukan hari pers Indonesia. Karena, terbukti yang terlibat dan dilibatkan setiap HPN hanya orang-orang PWI saja.”Saya tidak pernah melihat teman-teman dari AJI ataupun Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) yang dilibatkan di sini. Padahal, AJI (Aliansi Jurnalis Independen) lebih dominan melakukan proteksi dan advokasi terhadap setiap tindak kekerasan wartawan maupun pelatihan-pelatihan jurnalistik untuk meningkatkan kapasitas jurnalistik," kata Tasrief. “HPN itu masih paradigma lama. Siapakah pelaksananya hari pers itu, coba lihat, semua ketua PWI diundang ke acara itu, kenapa AJI atau IJTI tidak diundang.”
“Dari sana baru bisa kita menentukan titik lahir HPN. Ini agar kita punya paradigma bersama tentang HPN,” kata Tasrief.
PWI bukanlah organisasi wartawan pertama yang didirikan di Indonesia. Jauh sebelum itu, sejumlah organisasi wartawan telah berdiri dan menjadi wadah organisasi para wartawan di zaman Belanda. Organisasi wartawan yang paling menonjol adalah Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Organisasi ini berdiri pada tahun 1914 di Surakarta. Pendiri IJB antara lain Mas Marco Kartodikromo, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Sosro Kartono dan Ki Hadjar Dewantara. IJB merupakan organisasi wartawan pelopor yang radikal. Anggota-anggota dari IJB sering diadili bahkan ada yang diasingkan ke Digul oleh penguasa kolonial Belanda.