Yang dimaksud produk halal dalam UU tersebut adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai syariat Islam, meliputi barangdan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan masyarakat.
Berdasarkan UU ini, bahan yang digunakan dalam proses produk halal terdiri atas bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong, yang berasal dari hewan, tumbuhan, mikroba, atau bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik.
Bahan dari hewan yang diharamkan meliputi bangkai, darah, babi, atau hewan yang disembelih tidak sesuai syariat. Itu belum termasuk bahan dari tumbuhan yang memabukkan atau membahayakan kesehatan orang yang mengonsumsinya.
Saat ini produk farmasi belum wajib mengantongi sertifikat halal. Sebab, aturan tersebut baru berlaku lima tahun mendatang. Namun aturan ini sangat sulit diterapkan pada industri farmasi karena produk farmasi menggunakan banyak bahan baku dari beberapa negara. Selain itu, proses kimia bahan baku farmasi berlapis. Artinya, ada bahan baku yang diproses di dua negara sekaligus. Dengan demikian, lembaga penerbit sertifikat harus menyambangi pabrik pemasok satu per satu untuk memastikan kehalalan bahan baku.
Padahal negara-negara Timur Tengah sudah sepakat mengeluarkan produk farmasi dari aturan halal. Mereka sudah mengetahui proses sertifikasi produk farmasi sangat rumit. Karenanya pemerintah harus merevisi UU Jaminan Produk Halal. Revisi mencakup pencabutan produk farmasi dari UU tersebut. Sebab ada kekhawatiran pabrik farmasi malah tidak berani memproduksi obat jika aturan itu diberlakukan. Ini tentunya akan merugikan masyarakat.
Kementerian Agama tengah membahas peraturan pemerintah tentang kategori produk yang harus tersertifikasi halal dan aturan lainnya. UU tersebut akan diberlakukan bertahap. Saat ini, prosesnya dalam tahap inventarisasi produk apa saja yang termasuk di dalamnya. Untuk itu, para pengusaha kecil menengah tidak perlu khawatir, karena pengaturan akan disesuaikan dengan kebutuhan. Tidak serta-merta semua barang jadi harus halal, akan ada pola seperti SNI (Standar Nasional Indonesia) tidak semua produk langsung diwajibkan mengantongi sertifikat halal. Soalnya, tidak semua perusahaan sanggup mendapatkan sertifikasi, terutama skala industri kecil dan menengah (IKM). Oleh karena itu, perlu ada pembinaan supaya IKM bisa sesuai dengan syariat Islam, sehingga tidak langsung berlaku dan yang tidak halal langsung tidak boleh dipasarkan.
Karena Kemendag perlu melakukan pengawasan di pasar bersama Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang bertanggungjawab kepada menteri agama. Namun, mekanisme pengawasan yang pasti hingga kini belum ditetapkan.
Guna mendapat jaminan produk halal perlu ada lembaga sertifikasi yang diberikan kewenangan dan suatu produk harus mendapatkan fatwa halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sertifikat halal akan diterbitkan pemerintah. Pemerintah harus menyiapkan anggaran untuk membantu proses sertifikasi, terutama untuk IKM. Karena perlu ada sanksi yang akan diberikan jika suatu produk tidak tersertifikasi halal.
Bagi orang muslim ketentuan mengenai informasi halal tidaknya suatu produk merupakan hal yang penting, karena menyangkut pelaksanaan syariat. Maka baiknyalah bilamana di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim dapat terjamin haknya untuk mengetahui halal tidaknya suatu produk. Menyangkut UUPK, apakah dimungkinkan bila sertifikat halal atau pemberian informasi tentang produk dapat disebutkan atau dijelaskan "halal tidaknya" produk tersebut?
Mengenai keharusan adanya keterangan halal dalam suatu produk, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU Produk Halal”). UU ini telah mengatur secara jelas bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Jadi memang pada dasarnya, jika produk yang dijual tersebut adalah halal, maka wajib bersertifikat halal.
Mengenai keharusan adanya keterangan halal dalam suatu produk, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU Produk Halal”). Yang termasuk “produk” dalam UU Produk Halal adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.UU Produk Halal telah mengatur secara jelas bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.(***) Aji Setiawan, penulis tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah