RESPONSE OF THIRD WORLD AGAINST WESTERN DOMINATION
Negara Dunia Ketiga yang selama ini diidentikan penuh dengan ketidakadilan (Injustice), kemiskinan (Poverty), dan Konflik (Conflict), mulai melakukan perlawanan terhadap segala bentuk ketidakdemokratisan yang dibebankan oleh negara-negara maju terhadap negara Dunia Ketiga. Diksi Perlawanan agaknya sedikit terdengar antagonis dan berkedudukan lebih rendah daripada diksi Konsensus yang terdengar lebih harmonis namun apabila didekonstruksi akan terlihat sebagai Bahasa pendudukan, penuh dengan hegemoni, dan ketertundukan terhadap dominasi negara barat. Konsensus mengandung bias ideologis yang mereduksi kompleksitas keutuhan pemahaman kita yang dibaliknya dikonsumsi secara sadar oleh Masyarakat dunia ketiga. Ilmuwan dunia ketiga mulai menyadari dan bangkit dari kecelakaan Sejarah melalui penelusuran kembali terhadap bukti-bukti Sejarah yang berisikan momen-momen kesejarahan yang ditulis dengan gaya Bahasa kolonial dan patriarkal sehingga bias terhadap kepentingan kolonial. Itulah yang Michel Foucault sebut sebagai Power of Knowledge, ketika romantisme antara kekuasaan dan pengetahuan direproduksi secara berulang dan bersifat reproduktif sehingga gen dari power tersebut bermutasi terus-menerus dan tumbuh dimana-mana menjangkiti secara tidak sadar.Â
Boaventura Santos dalam Epistemologies Of The South menyebut istilah Epistemicide, atau pembunuhan karakter terhadap ilmu-ilmu yang diproduksi di negara Dunia Ketiga sebagai ilmu yang tidak ilmiah dan tidak memenuhi standardisasi keilmuan ala barat. Edward Said dalam Orientalisme menyebutkan gagasan soal representasi Timur oleh barat. Gagasan soal barat lebih superior dibanding Timur mengandung logika oposisi biner dimana barat lebih maju dan lebih berhak mengklaim soal peradaban yang beradab terhadap Timur yang dianggap subordinat dan hanya dipenuhi soal imajinasi dan romantisme belaka. Gayatri Chakravorty Spivak dalam "Can Subaltern Speak?" menggunakan istilah subaltern untuk menggambarkan kondisi Masyarakat Dunia Ketiga yang tidak memiliki kesadaran akibat adanya silencing melalui consensus yang mencuri kesadaran Masyarakat melalui retorika yang adiktif.Â
Spivak menggunakan konsep Hegemony dari Antonio Gramsci untuk mendeskripsikan realitas konsensus yang hierarkis dan meminjam konsep Deconstruction dari Jacques Derrida untuk membongkar realitas melalui kritik dalam tulisan sastra dan literatur yang konseptual. Respons terhadap globalisasi yang berbasis dominasi dan hegemoni dari Ilmuwan Dunia Ketiga menggugah kesadaran untuk menggugat segala normalisasi terhadap realitas hirarkis dan patriarkal yang diterima absah oleh Masyarakat Dunia Ketiga.
Â
 Bentuk Dominasi terhadap negara Dunia Ketiga bersifat resiprokal antara yang didominasi dengan yang mendominasi. Hubungan tersebut dibuat terlihat "alamiah" secara struktural dan secara psikologis menimbulkan penyakit mental inferioritas bagi Masyarakat yang tidak memiliki kesadaran secara akumulatif bahaya laten kolonialisme ini yang semakin hari semakin abstrak dan variatif. Frantz Fanon menyebutnya sebagai Laktifikasi atau sindrom mental akibat adanya penjajahan. Ketika Masyarakat Dunia Ketiga mengalami ketertundukan secara alami dan enggan mengakui identitasnya dan lebih cenderung untuk mengamplifikasi secara rasional identitas penjajah sebagai bagian untuk memperadabkan mereka lebih baik.Â
Dominasi tendensi dilakukan dengan melakukan hegemoni kultural dengan memadukan unsur budaya lokal dengan budaya kolonial dan membungkusnya dengan praktik-praktik simbolik dan Bahasa. Homi K Bhabha dalam tulisannya berjudul The Location of Culture menyebut sebagai ambivalensi hibriditas. Hibriditas disebutkan sebagai pencampuran dari proses interaksi budaya dan Pendidikan antara penjajah dengan terjajah yang berpadu dan dilebur menjadi Bahasa, pandangan dunia atau onjek yang baru.Â
Pengaruh kehadiran kolonial dalam ruang social tidak dapat dihindari dan hanya dapat mereka tolak dengan jalan mimikri atau meniru. Bhabha menyebut mimikri sebagai wacana yang ambivalen, yang satu pihak membangun identitas atau persamaan, tetapi di lain pihak juga mempertahankan kebudayaan. Ini menandainya bertahannya sifat superioritas dan inferioritas. Latar belakang kultural yang demikianlah yang membuat Masyarakat Indonesia dengan cepat melakukan peniruan terhadap segala cara hidup dan cara berpikir kelompok social yang lebih baru dan superior, yakni menggunakan segala standar hidup yang sangat bias barat.Â
Upaya melakukan Decoloniality atau Dekolonialisasi terhadap barat salah satunya ditulis oleh Walter Mignolo di dalam bukunya yang berjudul On Decoloniality. Dekolonialisasi adalah sikap menunjukan ketidaktaatan terhadap bentuk-bentuk standarisasi yang ilmiah. Ambivalensi terhadap diskursus-diskursus yang merepresentasikan Timur dan bersifat paradoksal antara satu nilai yang dianggap beradab dan yang tidak beradab. Mignolo memperkenalkan konsep Epistemic Disobedience atau bentuk pemberontakan epistemic tentang bagaimana barat Menyusun Sejarah, intelektual, social, dan kultural dari Timur. Pemberontakan ini harus dilakukan dalam Tindakan keseharian dan membangun penolakan keseharian terhadap bentuk-bentuk praksis dari kolonialisme.Â
Maka dari itu, diperlukan kembali penguatan terhadap budaya-budaya local secara struktural serta menanamkan nilai-nilai lokalitas yang relevan sesuai konteks asal sebab modernisasi yang selama ini ditekankan secara tidak sadar justru dibaliknya mengandung Upaya inferioritas kepada Timur. Salah satu implementasi globalnya adalah dilaksanakannya World Social Forum setiap tahun yang dimulai sejak tahun 2001 sebagai bentuk perlawanan terhadap globalisasi yang kehadirannya justru merusak secara nyata terhadap alam melalui Pembangunan-pembangunan yang dipaksakan oleh secara rasionalitas dengan pengetahuan ala kolonial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H