Mohon tunggu...
Tante Paku  A.k.a Stefanus Toni
Tante Paku A.k.a Stefanus Toni Mohon Tunggu... wiraswasta -

Membaca dan menulis hanya ingin tahu kebodohanku sendiri. Karena semakin banyak membaca, akan terlihat betapa masih bodohnya aku ini. Dengan menulis aku bisa sedikit mengurangi beban itu. Salam, i love you full.....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Polisi Bermain Drama dengan KPK, Siapa Sutradaranya?

2 November 2012   01:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:06 1233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden pidato tanggapi kisruh KPK - Polri. Kemudian KPK tanggapi pidato Presiden. Mungkinkah Kapolri tanggapi pidato KPK. Lalu KPK tanggapi pidato Kapolri Terus kisruh kembali Akhirnya Presiden pidato lagi. Kembali rakyat Indonesia disuguhi DRAMA jilid 2 yang berjudul CICAK vs BUAYA yang pernah sukses tayang di tahun 2009 lalu. Pihak kepolisian tetap berperan sebagai Buaya dan KPK sebagai Cicaknya.Pada jilid pertama sang Buaya berhasil memenangkan perkara dengan menjebloskan ketua KPK saat itu Antasari Azhar ke jeruji besi. Walau ada insiden kecil antar Buaya, namun bisa diredam oleh para petingginya, begitulah yang terjadi. Drama sebagai media memang cocok kita nikmati dalam kehidupan ini, baik lewat media cetak maupun elektronik. Media itu memang harus memvisualkan kata, merekam peristiwa dalam bentuk yang nyata untuk dicerna pikiran penikmat sajian tersebut. Membuat tontonan yang berupa drama memang bukan pekerjaan mudah. Ini merupakan salah satu seni yang tinggi dan canggih, karena memerlukan penata yang terampil dan berlimpah kreasi, yang mampu mengolah hal sederhana menjadi sesuatu yang menarik dan memuaskan batiniah.

Penikmat atau penonton, walau awam, bisa juga kritis apabila berulang-ulang menonton drama. Penonton yang awam kadangkala akan memprotes adegan yang tidak logis, plot yang tidak utuh, tokoh yang tidak konsisten, tempat yang tidak tepat, dan waktu yang tidak pas. Mungkin orang awam tidak mengerti sistematika istilah-istilah yang disebutkan di atas, yang lazim disusun secara tertib dalam ilmu karang mengarang.Secara alamiah, penonton awam memiliki pengetahuan akan hal itu. Sistematika dilakukan hanyalah karena kepentingan ilmu, untuk pengajaran dan pengetahuan. Sedangkan istilah itu sendiri sebenarnya sudah terjelma dalam kehidupan manusia baik yang tahu baca maupun yang tidak tahu baca. Sebuah langkah yang cukup dapat dipertanggungjawabkan ialah metode perbandingan. Metode yang sering digunakan kaum awam untuk menilai kadar tontonan sah adanya. Justru perbandingan ini membuat pikiran mereka lebih kritis dan pendapat mereka lebih tajam dan dapat dipercaya.

Ketika Cicak (KPK) bermain drama dengan Buaya (POLRI), kaum awam tidak mau pusing dengan segala tetek bengek teori yang hebat dan tinggi-tinggi, tetapi ketika sajian kurang berharga, bereaksilah para awam ini yaitu RAKYAT. Seperti kita ketahui bahwa Buaya adalah binatang melata yang cukup besar dibandingkan dengan Cicak yang hidupnya merayap di dinding atau di pepohonan. Sementara Buaya boleh dikata raja binatang melata di sungai-sungai atau rawa-rawa. Ketika sang Buaya mendapat kesempatan hidup di darat, mulailah awal kehidupan baru. Sang Buaya membuat "korp" yang kuat, seragam yang sama, senjata yang sepadan. Ketika ada kesempatan, mereka pun menggelar bermacam operasi untuk mengokohkan eksistensinya. Bermacam operasi pernah diluncurkan, ada : - Operasi Siluman - Operasi Halilintar - Operasi Sabet - Operasi Sapu Jagat - Operasi Zebra - Operasi Patuh - Operasi Pekat - Operasi Peti - Operasi Sikat - Operasi Antik - Operasi Lilin - Operasi Jaring - Dan lain sebagainya. Memang kalau kita catat semua, banyak "operasi" dengan nama yang hebat dan seram sekaligus indah mencekam. Para Buaya melancarkan semua operasi itu dengan tujuan satu, yakni MENEGAKKAN HUKUM di tengah masyarakat. Sesuai dengan kata sifatnya, yakni "operasi", maka pelaksanaannya mempunyai batas waktu. Tetapi operasi yang paling rajin mereka lakukan adalah "Operasi Tilang" di tempat! Operasi Tilang ini sering jadi "momok" masyarakat yang lupa memperlengkapi aturan yang sudah ditetapkan. Sementara para "oknum" Buaya sering mencari keuntungan ditengah "kegugupan" rakyat biasa yang patuh hukum. Begitulah para Buaya di lapangan jika tengah melakukan "operasi" tidak resmi, mereka memanfaatkan kekuatan "seragam" dan bertindak layaknya "preman" jalanan. Sementara si Cicak, walau kecil dan usia "korp"nya belum lama, karena mempunyai "kekuasaan" yang cukup nyaman untuk bergerak di tengah lapisan instansi maupun masyarakat, ikut meniru gaya para Buaya ketika sedang menjalankan tugas.

Terjadilah permainan "kucing-kucingan" antara aparat penegak hukum dengan masyarakat. Ketika sama-sama menangkap "mangsa" yang empuk, gurih, renyah sekaligus bergizi, berlombalah mereka merayu mangsa tersebut, yang rupanya bernama TIKUS. Bila ingin selamat dunia akherat, si Tikus harus rela membagi isi "lumbungnya" dengan mereka. Ketika pembagian dirasa "tidak adil" oleh salah satu pihak dan tidak bisa diselesaikan dengan musyawarah untuk mufakat, pertempuran pun siap-siap meletus. Cicak yang merasa kecil dan tak punya senjata kuat, ia hanya punya pendengaran tajam serta lidah yang panjang maka ia mencari dukungan dari banyak pihak. Mulai dari tokoh-tokoh masyarakat, juga para rakyat yang tergabung dalam banyak komunitas serta banyak lagi rakyat yang ANTI KORUPSI, dan mereka pun mengibarkan bendera SAVE KPK. Sementara Buaya, yang punya senjata komplit, baik perisai yang tebal maupun gigi tajam, tidak perlu mencari simpati masyarakat, Keangkuhannya cukup untuk bisa menelan bulat-bulat para Cicak itu.

Apa arti semua ini? Apakah yang dapat dipetik dari "pentas drama" kolosal ini? Seperti skenario drama yang hanya perlu diikuti oleh mereka yang sedang naik panggung dan ditonton banyak orang. Sesudah acara selesai, orang pun turun kembali dari atas panggung dan skenario itu tak berfungsi apa-apa lagi. Di sisi lain hal ini membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk "memainkan"nya lewat cara-cara yang dapat merusak kewibawaan hukum. Lewat korupsi, pungli dan lain sebagainya. Si Tikus yang berhasil menyutradarai drama itu akan tertawa puas sambil makan "kesempatan", sementara tidak diawasi mereka yang tengah bermain drama itu. Dalam budaya hidup masyarakat yang serba paternalistik, yang serba "vertical oriented", para tokoh dan aparat penegak hukum selalu dijadikan sebagai cermin. Merekalah tuntunan, mereka itulah panutan.Dalam masyarakat kita yang serba multiplural, dengan tingkat pendidikan dan kesadaran nasional, baik di bidang politik maupun hukum, belum homogen, segala tingkahlaku aparat yang bertugas menertibkan masyarakat dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu dan waktu, dijadikan sebagai tolok ukur. Dengan tempo dan irama yang tetap serta semangat yang tetap pula. Dalam hidup kita bermain drama, kita juga memerlukan tontonan, tetapi bukan tontonan dengan pamer ketegangan urat leher, dengan kata-kata murahan yang dilontarkan dengan mudah. Kehidupan sehari-hari rakyat kita masih banyak yang dirundung oleh frustrasi, kemelut, ketegangan dan jalan buntu, apakah mereka masih memerlukan suguhan ala Cicak dan Buaya? Yang jelas, mulai sekarang RAKYAT BERGERAK untuk MELAWAN KORUPSI sampai mati, karena para KORUPTOR lah yang membuat negeri ini MAKIN PARAH di ujung perpecahan dan kebangkrutan, sementara mereka siap-siap kabur menyelamatkan diri ke luar negeri. Apapun agamanya tidak perlu bersandiwara lagi, KORUPTOR HARUS DIBASMI!

Illustrasi : Kotakhumorfacebook.com, Koranfesbuk.com, KPK.

Tulisan sebelumnya :

- Mengkritik Presiden SBY, Boleh Tidak?

- Bapak Presiden, Lihatlah Umat Beragama Saling Bantai

- Apakah Ini Kata-kata “Kasar” di Kompasiana yang Disukai Pembaca? (Bukan Hoax)

- Benarkah Umat Kristen Menganggap Presiden SBY dan Wapres Boediono Penjahat?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun