Fungsi kritik modern pada mulanya adalah untuk melawan negara absolut. Dari obrolan warung-warung kopi yang egaliter, kritik bergulir dan meletus dalam revolusi Prancis. Sampai sekarang, kritik selalu mengarahkan serangannya ke absolutisme dan kebenaran tunggal. Jika ada kebenaran dominan (berkuasa) sedang membungkam kebenaran subdominan/subversif, jelas ini bukan kritik, tapi penegakan kebenaran (dominan). Demikianlah kata seorang Kritikus Budaya dan Sastra Terry Eagleton. Kritik bisa menimpa siapa saja, tak perduli jabatannya, dari Presiden sampai rakyat jelata, semua bisa mengkritik selama si pengkritik masih hidup dan diberi kemampuan untuk mengkritisi. Apakah Presiden SBY yang memimpin beratus juta rakyat Indonesia tidak bisa dikritik? Apakah Presiden Amerika Barak Obama yang dikawal hingga 35 mobil mewah bebas dari kritik? Tidak ada undang-undang yang mengatakan jabatan tinggi tidak boleh dikritik.Jadi presiden harus mau dikritik. Orang yang mengkritik presiden lalu terpilih jadi presiden tentunya juga harus mau dikritik. Orang yang mengkritik tentu juga harus mau dikritik. Orang yang mengkritik orang yang mengkritik si pengkritik juga harus mau dikritik. Inilah GOLDEN RULE. Ada yang berpendapat bahwa senjata kritik adalah si pengritik terlebih dahulu bertindak benar baru deh boleh mengkritik. Ada juga yang mengatakan bahwa mengkritik tidak boleh kebablasan tanpa ada solusinya, katanya kritik yang kebablasan sama seperti menghakimi. Padahal TULISAN YANG BERISI KRITIKAN sudah TERMASUK KRITIK tanpa disadarinya. Yang tidak disadarinya bahwa INDONESIA MERDEKA JUGA KARENA KRITIK. Bayangkan, kalau tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara dan lain sebagainya itu tidak mengkritik KOLONIALISME, berapa banyak orang yang mau jadi militan memperjuangkan kemerdekaan ini? Sekarang Indonesia sudah tidak dipimpin PARA RAJA, tetapi oleh PRESIDEN yang dipilih rakyat secara LANGSUNG, bukan diangkat oleh CENDEKIAWAN-CENDEKIAWAN, ULAMA-ULAMA, PENGUSAHA-PENGUSAHA dan para AGGOTA DPR/MPR yang duduk nyaman di gedung BEHA (Tuh gedungnya kan kaya BEHA ha ha ha ha......). Jadi para pemimpin itu bekerja UNTUK RAKYAT, jongosnya rakyat! Jadi kritik sering dikategorikan juga, ada kritik terhadap wacana yang dominan, kritik subversif atau kritik AKSI POLISIONIL (Meluncur menggerebek sarang penjahat atau teroris). Malah ada yang mengatakan kritikannya hanya sekedar PENDAPAT, namun siapa yang bisa membuat kategori kritikan? Siapa yang menentukan kritikan itu dominan atau subdominan? Ada yang alergi kritik, ada yang menyarankan kritik agar dipergunakan secara arif bijaksana alias hati-hati. Jika SARAN katakan saran, jika NASEHAT katakan nasehat, jika TEGURAN katakan teguran, jika MENGUTUK katakan mengutuk, jika MENENTANG katakan menentang, jika MENUDUH katakan menuduh, jika MENGHAKIMI katakan menghakimi, jika MENDAKWA katakan mendakwa dan seterusnya. Toh pada akhirnya yang dikritik lebih suka menerima kritik yang membangun dan dapat memberikan solusi yang tepat guna dan efektif. Bagaimana kalau yang mengkritik bisanya cuma mengkritik saja, solusinya terserah yang dikritik? Yang jelas, KRITIK MENUNJUKKAN ADANYA KOMUNIKASI, jikalau kritik berhenti maka pada saat itu sebenarnya hubungan diputuskan dan persiapan untuk perang dimulai. Bukankah Indonesia sudah sejak ratusan tahun hidup di zaman KOLONIAL dan MILITERISTIK ini memang sudah didoktrin kuat kalau KRITIK ITU BAHAYA? Apakah kita salah satu korbannya? Selamat mengkritik! Gambar dari google.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H