Ketika mendengar nama Mbah Maridjan disebut, pikiran orang pasti akan mengingat sang KUNCEN atau Juru Kunci Gunung Merapi itu. Saat Merapi dikabarkan akan meletus mengikuti siklusnya, selalu saja menjadi berita yang panas sepanas Wedhus Gembel bagi kerabat media. Untuk menarik perhatian atau demi mengejar Deadline, awak pers pun tak segan mengejar sumber berita yang paling dekat, kalau perlu menginap berhari-hari demi aktualitas beritanya. Gunung Merapi identik dengan Mbah Maridjan, maka beliau selalu menjadi sumber berita yang tak bisa dipisahkan begitu saja dengan keberadaan Gunung Merapi yang tengah menjadi berita. Setiap kabar tentang Gunung Merapi, Mbah Maridjan selalu jadi berita tersendiri yang tak kalah panasnya dengan lahar Merapi, entah tentang keramahannya, tentang kesaktiannya, tentang ketaatannya, tentang ketegarannya, tentang kesetiaannya, tentang keras kepalanya, tentang tanggung jawabnya sebagai Juru Kunci Gunung dan segala hal tentang Mbah Maridjan menarik untuk dibaca maupun didengarnya. Walau pro dan kontra terhadap tindakan terakhirnya untuk tetap bertahan di rumahnya apapun yang terjadi begitu seru. Banyak yang tidak tahu ketika Mbah Maridjan kekeuh jumekeh tidak bersedia meninggalkan rumahnya untuk pergi mengungsi di saat status Gunung menjadi AWAS Merapi dan ternyata menjadi berita yang cukup dinanti banyak orang, ada yang lepas dari pengamatan banyak juru warta itu. Sebelum Gunung Merapi meletus, ada Mbah Maridjan lain yang sudah meninggal tanpa diberitakan oleh media manapun, beginilah ceritanya. Orang sekampung memang memanggil lelaki tua itu dengan panggilan Mbah Maridjan, usianya hampir 80 tahun tapi masih tampak sehat, pagi itu ia tampak bersiap-siap memanjat pohon mangga yg sudah berbuah banyak dan siap dipanen. Ia mengambil tangga bambu untuk menaiki pohon tersebut, kalau hanya pakai galah kurang panjang, mesti harus naik dulu agar galahnya bisa cukup menjangkau buah mangga itu. Ketika di atas, tiba-tiba rombongan semut merah merayapi tubuhnya, dengan spontan Mbah Maridjan menyingkirkan dengan tepukan-tepukan tangannya. Tetapi bukannya semut merah jera, mengira Mbah Maridjan mengganggu kedamaiannya, semut-semut yang lain semakin berdatangan mengerubutinya. Mbah Maridjan timbul marah besarnya, dengan bernafsu menepuk dengan telapak tangan kanannya ke arah semut-semut itu, sementara tangan kirinya erat memegang ranting pohon yang cukup kokoh untuk dipegangnya. "Plak! Plok! Plak Plok!" begitu suara tamparannya yang keras yang mengakibatkan banyak semut merah menjadi korban, berjatuhan dan ada yang mati seketika. Tapi tentara semut merah terus berdatangan dari berbagai penjuru, menyerbu Mbah Maridjan yang nampak kalap itu. Pertempuran antara Mbah Maridjan dan gerombolan semut merah di atas pohon mangga itu semakin sengit. Jurus telapak tangan si Mbah sudah banyak menelan korban, namun bala tentara semut terus berdatangan mengerubutinya. Sudah banyak gigitan di tubuh Mbah Maridjan , hampir sekujur tubuhnya dirayapi semut merah yang tengah marah besar itu. Pertahanan Mbah Maridjan pun runtuh, ia terjatuh! Mbah Maridjan merasakan sakit yang luar biasa ketika tubuhnya menyentuh tanah, untuk sementara ia tidak bisa bangkit. Sambil meringis ia bangun, ia masuk ke dalam rumah, mengambil obat serangga yang lantas menyemprotkan ke arah para semut itu. Tetapi pasukan semut merah rupanya pantang menyerah, terus berdatangan dari sudut-sudut ranting pohon menyerbu Mbah Maridjan yang terus menyemprotkan obat serangga dengan cepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H