Usiaku baru 30 tahun, belum menikah, zaman sekarang ini masih pantaskah disebut perawan tua? Bukankah banyak perempuan di kota besar yang berusia lebih dari 30 tahun masih melajang? Bukan karena tidak laku, ada yang menentukan standard cukup tinggi untuk menjadi pendampingnya, ada yang merasa belum dapat jodoh yang cocok atau mungkin masih mengejar karier yang lebih tinggi, semua perempuan mempunyai alasan sendiri-sendiri yang tidak bisa kita salahkan begitu saja.Lalu apa alasanku hingga belum bisa menentukan calon suami? Aku pernah mempunyai pacar sewaktu kuliah di Semarang, dia orang Manado yang cukup tampan dan suaranya serak berwibawa. Belum genap satu tahun kami pacaran, dia telah berhasil merenggut sesuatu yang berharga dariku. Kemudian pergi begitu saja, sungguh aku seperti orang linglung yang sibuk mencarinya hingga kuliahku terhambat. Rumahnya pun memakai alamat palsu, teman-temannya pada tidak tahu. Ia hilang bagai ditelan bumi, aku yang lugu dan bodoh dalam soal cinta, mabuk dalam rayuannya, hanyut dalam pangkuannya, mengenaskan. Rumah besar berbentuk joglo ini semakin ramai, 3 kakakku berdatangan bersama anak-anaknya, pembantunya ,ada yang membawa sopirnya juga Rumah yang biasanya sepi, yang sesekali terdengar gonggong Moli anjing betina kesayanganku, kini nampak hidup dengan jerit anak-anak dan riuh rendah suara kakak-kakakku. "Tin," panggil kakak sulungku. "Semua kakakmu menyetujui rencana Mama, baru hari ini kami bersepakat memberitahukan kepadamu, karena Mama tak berani menyampaikan kepadamu." "Cobalah mengerti perasaan Mama, Tin, jangan ikuti perasaanmu saja," sahut kakak kedua ikut-ikutan. "Sudahlah Lentin, kamu tinggal mengatakan setuju atau tidak?! Tukas kakak ketiga yang menambah memerah mukaku. "Kak, apakah keputusanku ada artinya bagi kalian dan Mama sendiri?" "Keputusanmu menentukan Tin," sahut Mama yang membuat airmataku menetes begitu saja. "Beri aku waktu satu minggu," sahutku sambil berlari masuk kamar. Hatiku semakin pedih, kesendirianku semakin menjadi. Dan waktu seminggu begitu cepatnya berlalu dan kurasakan ketidakadilan semakin terasa, waktu seminggu seolah-olah memperdalam kemalanganku sebagai perawan tua yang tidak tahu diri. Sementara Mama, perempuan berusia enam puluh tahun selalu menceritakan tentang sepi yang menikamnya. Apakah Mama tidak merasa malu mencanangkan rencana yang membuatku tersentak. Walau usia Mama sudah dianggap tua, tapi Mama pintar merawat diri, ia masih tampak cantik dan muda, seperti kakakku saja bila kami jalan bersama. Uh sialan! Apakah aku iri dengan Mama? Ataukah aku cemburu dengan Mama? Mestikah aku protes pada Tuhan? Kenapa Tuhan justru memberi jodoh pada Mama bukan kepadaku? Apa yang mesti kukatakan? Berkecamuk segala pikiran bukan untuk diriku sendiri benar-benar menjengkelkan. Sekolah, bekerja, dan menanti jodoh yang tak kunjung tiba, sungguh membosankan. Apa yang mesti kukatakan pada sidang kakak-kakakku nanti? Jika jawabanku tidak seperti yang diharapkan, tentu akan terjadi hujan tangis dari Mama dan sumpah serapah dari semua kakakku. Tapi jika aku mengatakan setuju, tepuk riuh pasti menyambutku, semua menciumku dan Mama pun tetap mengeluarkan airmata, tapi tentu saja airmata bahagia dan haru sambil mengatakan kepadaku : "Tin, kamu memang anakku yang bijaksana."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H