Mohon tunggu...
Tante Paku  A.k.a Stefanus Toni
Tante Paku A.k.a Stefanus Toni Mohon Tunggu... wiraswasta -

Membaca dan menulis hanya ingin tahu kebodohanku sendiri. Karena semakin banyak membaca, akan terlihat betapa masih bodohnya aku ini. Dengan menulis aku bisa sedikit mengurangi beban itu. Salam, i love you full.....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lelaki yang Merenggut Keperawananku

19 Oktober 2010   16:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:17 4714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://3.bp.blogspot.com/_wC8_9aR_6uE/S4lVuI-LhpI/AAAAAAAACZk/id3jtsW1lqQ/s320/rumah+joglo.jpg

Usiaku baru 30 tahun, belum menikah, zaman sekarang ini masih pantaskah disebut perawan tua? Bukankah banyak perempuan di kota besar yang berusia lebih dari 30 tahun masih melajang? Bukan karena tidak laku, ada yang menentukan standard cukup tinggi untuk menjadi pendampingnya, ada yang merasa belum dapat jodoh yang cocok atau mungkin masih mengejar karier yang lebih tinggi, semua perempuan mempunyai alasan sendiri-sendiri yang tidak bisa kita salahkan begitu saja.Lalu apa alasanku hingga belum bisa menentukan calon suami? Aku pernah mempunyai pacar sewaktu kuliah di Semarang, dia orang Manado yang cukup tampan dan suaranya serak berwibawa. Belum genap satu tahun kami pacaran, dia telah berhasil merenggut sesuatu yang berharga dariku. Kemudian pergi begitu saja, sungguh aku seperti orang linglung yang sibuk mencarinya hingga kuliahku terhambat. Rumahnya pun memakai alamat palsu, teman-temannya pada tidak tahu. Ia hilang bagai ditelan bumi, aku yang lugu dan bodoh dalam soal cinta, mabuk dalam rayuannya, hanyut dalam pangkuannya, mengenaskan. Rumah besar berbentuk joglo ini semakin ramai, 3 kakakku berdatangan bersama anak-anaknya, pembantunya ,ada yang membawa sopirnya juga Rumah yang biasanya sepi, yang sesekali terdengar gonggong Moli anjing betina kesayanganku, kini nampak hidup dengan jerit anak-anak dan riuh rendah suara kakak-kakakku. "Tin," panggil kakak sulungku. "Semua kakakmu menyetujui rencana Mama, baru hari ini kami bersepakat memberitahukan kepadamu, karena Mama tak berani menyampaikan kepadamu." "Cobalah mengerti perasaan Mama, Tin, jangan ikuti perasaanmu saja," sahut kakak kedua ikut-ikutan. "Sudahlah Lentin, kamu tinggal mengatakan setuju atau tidak?! Tukas kakak ketiga yang menambah memerah mukaku. "Kak, apakah keputusanku ada artinya bagi kalian dan Mama sendiri?" "Keputusanmu menentukan Tin," sahut Mama yang membuat airmataku menetes begitu saja. "Beri aku waktu satu minggu," sahutku sambil berlari masuk kamar. Hatiku semakin pedih, kesendirianku semakin menjadi. Dan waktu seminggu begitu cepatnya berlalu dan kurasakan ketidakadilan semakin terasa, waktu seminggu seolah-olah memperdalam kemalanganku sebagai perawan tua yang tidak tahu diri. Sementara Mama, perempuan berusia enam puluh tahun selalu menceritakan tentang sepi yang menikamnya. Apakah Mama tidak merasa malu mencanangkan rencana yang membuatku tersentak. Walau usia Mama sudah dianggap tua, tapi Mama pintar merawat diri, ia masih tampak cantik dan muda, seperti kakakku saja bila kami jalan bersama. Uh sialan!  Apakah aku iri dengan Mama? Ataukah aku cemburu dengan Mama? Mestikah aku protes pada Tuhan? Kenapa Tuhan justru memberi jodoh pada Mama bukan kepadaku? Apa yang mesti kukatakan? Berkecamuk segala pikiran bukan untuk diriku sendiri benar-benar menjengkelkan. Sekolah, bekerja, dan menanti jodoh yang tak kunjung tiba, sungguh membosankan. Apa yang mesti kukatakan pada sidang kakak-kakakku nanti? Jika jawabanku tidak seperti yang diharapkan, tentu akan terjadi hujan tangis dari Mama dan sumpah serapah dari semua kakakku. Tapi jika aku mengatakan setuju, tepuk riuh pasti menyambutku, semua menciumku dan Mama pun tetap mengeluarkan airmata, tapi tentu saja airmata bahagia dan haru sambil mengatakan kepadaku : "Tin, kamu memang anakku yang bijaksana."

http://tofikonline.com/wp-content/uploads/2010/09/cewek-cantik-4.jpg
http://tofikonline.com/wp-content/uploads/2010/09/cewek-cantik-4.jpg
Perasaanku semakin galau hingga membawa langkah kakiku ke makam Papa. Sambil memeluk nisannya aku menumpahkan dan menghasut Papa agar mengutuk Mama sebagai istri yang tidak setia. Telah berkhianat terhadap cinta Papa yang begitu besar ini. Begitukah tanggung jawab seorang Mama terhadap putri bungsunya, tidak memperhatikannya justru malah mau kawin lagi. Dalam tangis yang sepi sendiri di tengah kuburan yang hening ini, sayup-sayup kudengar suara Papa. "Pulanglah sayang, saatnya kau membalas dendammu." Aku tersentak, terpana, ketakutan dan segera berlari lintang pukang meninggalkan pusara Papa. "Aku setuju dengan rencana Mama," ucapan ini meluncur begitu saja dari bibirku yang bergetar. Benar saja, semua memelukku, airmata haru Mama mengalir dan menciumku begitu hangat. Dan aku segera berlari masuk kamar, aku tak punya lagi kekuatan untuk berkumpul dengan semua saudaraku. Suaranya yang serak berwibawa itu rasanya sangat kuhapal, suara seperti itulah yang membisikkan janji-janji surga ke telingaku, mengundang mataku untuk memastikan pemiliknya. Mengintip sedikit dari balik korden jendela cukuplah. "Astaga!" serasa darahku berhenti mengalir seketika. Pikiranku seperti terhenti, namun seperti ada suara setan yang berbisik-bisik ke dalam sanubariku untuk membalas dendam, karena saatnya telah tiba. Lelaki itulah yang telah merenggut keperawananku waktu aku masih kuliah dulu, dan kini ia ada di sini untuk menjadi bapak tiriku? Sementara aku tetap menjadi perawan tua selamanya. Yah, perawan tua selamanya, karena aku berada dalam jeruji besi ini tanpa tahu kapan mengakhiri predikatku sebagai perawan tua itu. Dendamku sudah terpuaskan, aku tak rela Mamaku disunting lelaki tak bertanggung jawab seperti itu, aku telah membunuhnya! Papa, berbisiklah sekali lagi padaku, siapakah yang harus kubunuh berikutnya, mungkinkah suatu saat Mama harus kubunuh? Illustrasi : Jap Gwan Siu, kibagus-homedesign.blogspot.com, c4mcoel.blogspot.com, tofikonline.com,sitcomsonline.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun