Kecenderungan manusia ketika berkumpul adalah saling berbagi cerita. Satu atau dua di antara mereka bisa menjadi kawan yang populer di tengah komunitas-komunitas kecil, ketika berhasil menggali dan menuangkan imitasi peristiwa-peristiwa yang menjadikan lingkungannya terkesima, terhibur, dan bukan tidak mungkin terbahak ngakak. Kemampuan untuk mengggali dan mendapatkan sesuatu yang menarik di balik sebuah peristiwa atau benda, yang kemudian menjadikan kita menjadi lebih bijak, adalah sesuatu yang perlu diteruskan dan dipupuk. Dimana saja kita berada, di warnet, di warteg, di pertemuan-pertemuan lingkungan atau komunitas, di sela cofee break seminar, orang-orang saling menukar cerita. Bercerita tentang apa saja, tentang Mbah Maridjan dan Gunung Merapinya dan bencana-bencana yang melanda tanah air beta ini, tentang wakil rakyat yang studi banding ke luar negeri tanpa perduli rakyatnya lagi susah hati, tentang KORUPSI yang semakin berjamaah, tentang SBY dengan tebar pesonanya serta pernak-pernik dunia politik yang semakin carut marut, tentang Seks dan berbagai penyimpangannya, tentang AGAMA beserta perdebatannya, tentang PENDERITAAN yang tak kunjung henti, tentang naiknya harga-harga, tentang SEKOLAH YANG MAHAL, tentang film-film baru, gossip-gossip selebritis, tentang Blogger dan dunia mayanya, tentang apa saja kegiatan sehari-hari yang tak kunjung habis dibicarakan. Untuk semua itu dibutuhkan fenomenon, yang dibutuhkan ternyata tak cuma full konsentrasi, tapi juga sikap yang bijak disamping sense of humor yang tinggi. Untuk itu diperlukan kecakapan structuring mind yang baik di mana kita perlu menyiapkan kejutan-kejutan menggelitik. Erich Fromm seorang psikolog kelahiran Jerman berpendapat, bahwa supaya bisa berproses kreatif sebaiknya manusia memiliki capability to be puzzled, terjemahan bebasnya kira-kira KEMAMPUAN UNTUK TERKESIMA setiap melihat peristiwa atau benda apa saja. Terkesima itu tidak mudah karena kita harus lebih giat melihat dan memberi tanggapan pada objek-objek di sekitar, agar ketika kita hendak bercerita tentang peristiwa atau benda itu, bangunan laporannya akan komplet, jelas, dan konstruktif. Hipotesisnya dari sang ahli jiwa itu karena dunia tutur kita sudah hancur. Fakta menjadi samar, antara kenyataan dan keinginan sudah begitu sulit dipisahkan. Zaman yang begini bising ini apakah manusia bisa menjadi lebih arif? Karena manusia untuk ke arah itu harus bisa dan perlu menyimpan ability to concentrate atau kesediaan untuk konsentrasi. Bahwa kearifan manusia perlu memiliki kemampuan untuk merasa terhibur atau bahasa kerennya karena terpeleset.... capability to be bwa ha ha ha........Apakah ini mudah dipelajari saat ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H