Dengan uang seribu, Siti membeli jadah bakar di depan toko yang ia lewati, baunya membuatnya semakin lapar, maka ia relakan uang itu untuk satu jadah yang sangat tipis irisannya. Sambil berjalan ia mengunyahnya pelan-pelan. Ketika ia haus, beruntung ada plastik berisi teh yang tergeletak di tepi jalan. Ia ambil langsung ia minum sisa teh itu. Satu jadah dan seteguk teh lumayan buat mengganjal perutnya untuk sementara.
Hari semakin sore, Siti hanya memperoleh tambahan beberapa keping seratus rupiah saja, bahkan tidak sampai seribu. Hari ini memang banyak orang pelit, pikirnya. Mereka lebih suka membeli pohon plastik yang tidak enak dimakan, keluh Siti keki. Kakinya terus melangkah hingga jauh menuju pinggiran sungai, tempatnya tinggal selama ini.
Lampu-lampu temaram dari bohlam 5 watt di perkampungannya seperti menunjukkan kehidupannya yang serba remang-remang dan tidak terang. Tiba-tiba bahunya disentuh, "Hei Siti, cepat pulang Mbokmu dari tadi mencarimu!"
"Eh tante Sari, kok dandan rapi mau kemana?"
"Mau ke gereja, ini kan hari natal," jawab tante Sari. Tetangga Siti yang bernama Sari ini memang lucu, ia hanya pegawai toko kecil, tapi selalu minta dipanggil tante, padahal rasanya tidak cocok di kalangan gelandangan ada tante, itu kan cuma panggilan buat orang kaya.
"Tante, mau tanya, kalo natal kok banyak pohon cemara yang dijual?"
"Karena itu pohon yang laku."Â jawab tante Sari sebisanya.
"Natal itu apa sih tante?"
"Natal itu hari lahirnya Yesus Kristus ke dunia sebagai Juru Selamat manusia."
"Manusia yang mana tante?"