Ketika Mbah Maridjan diketemukan meninggal entah di DALAM kamarnya, di DEPAN kamarnya, atau bukan di dua tempat tersebut walau masih di dalam rumah dan dalam posisi masih bersujud, tidak dijelaskan ke arah mana sujudnya tersebut? Ke arah kiblat atau ke arah Gunung Merapi, mungkin juga bukan ke dua arah tersebut, pastilah akan terjadi banyak spekulasi untuk menjawab pertanyaan ini, karena saksi mata yang mengetahui situasi rumah Mbah Maridjan paling valid tentu penduduk setempat yang pernah masuk ke rumah sang Juru Kunci itu. Tetapi baiklah, bila ditinjau dari keyakinan Mbah Maridjan dan cerita warga setempat yang berhasil selamat, sebenarnya Mbah Maridjan berniat ikut mengungsi namun beliau ingin menjalankan sholat terlebih dahulu, karena pada saat itu ia terlambat melakukannya, setelah Sholat ia memang ingin meninggalkan kediamannya untuk ikut turun. Namun pada saat menjalankan sholat, keburu awan panas melandanya pada saat beliau tengah bersujud. Tetapi bagaimana pandangan para praktikan kebatinan, tentu akan berbeda pemaparannya. Orang Jawa dalam kehidupannya sejak zaman prasejarah bahkan sampai sekarang masih memegang kuat KEPERCAYAAN terhadap hal-hal yang berbau mistik. Hal demikian tidak lepas dari unsur Sejarah, unsur Agama (terutama Hindu dan Budha) dan unsur kepercayaan Animisme. Sebab kepercayaan manusia diresmikan dengan legenda dan setiap legenda didasarkan pada sejarah. Orang yang tinggal di daerah Gunung Merapi percaya bahwa ada Keraton Mahluk Halus di gunungnya yang mirip Kraton Mataram dalam dunia manusia. Maka tak heran bila nama Eyang Merapi dianggap sebagai penguasa alias pimpinan seluruh lelembut penghuni Gunung Merapi. Bahkan para praktikan kebatinan mampu melihat kemegahan Keraton Merapi yang indah gemerlap tersebut dengan mata batinnya. Eyang Merapi tidak sendiri dalam mendiami Gunung teraktif di dunia ini, ada Eyang Panembahan Sapu Jagat yang diberi kepercayaan sebagai juru kunci kawah Merapi, yang berkuasa untuk membuka kawah bila sudah tiba saatnya akan meletus. Eyang Sapu Jagat mempunyai staf juga yaitu Kyai Grinjing Wesi dan Kyai Grinjing Kawat. Pembantu Eyang Merapi lainnya adalah Eyang Megantara yang memiliki kewenangan mengendalikan cuaca di sekitar Merapi, hujan atau panas tergantung Eyang Megantara. Eyang Merapi juga menugaskan Nyi Gadung Melati untuk menjaga kesuburan tetumbuhan di sekitar Merapi. Tokoh berikutnya sebagai pembantu Penguasa Merapi adalah Eyang Antaboga. Makhluk dari bangsa jin ini mendapat tugas cukup berat karena harus selalu menjaga keseimbangan gunung agar tidak melorot tenggelam ke dasar bumi. Adalagi nama tokoh yang sering disebut masyarakat sekitar Gunung Merapi yaitu Kyai Petruk. Pemuka jin ini bertugas memberi wangsit mengenai waktu meletusnya Merapi, termasuk juga memberi kiat-kiat tertentu kepada penduduk agar terhindar dari ancaman bahaya lahar panas Merapi. Dipundak jin inilah keselamatan penduduk tergantung. Sedang pemimpin roh halus ketujuh yang khusus mengatur arah angin adalah Kyai Sapu Angin. Pemuka jin kedelapan yang tugasnya menjaga sembari mengatur teras keraton Merapi adalah Kyai Wola-Wali. Adapun Kartadimejo, tokoh kesembilan ini bertugas sebagai komandan pasukan makhluk halus sekaligus menjaga ternak serta satwa gunung, termasuk memberi kepastian kepada penduduk tentang kapan tepatnya Merapi meletus. Jin terakhir ini kerap mendatangi penduduk sehingga namanya cukup terkenal di kalangan penduduk Merapi. Mbah Maridjan sendiri konon mampu berkomunikasi dengan beberapa penunggu Gunung Merapi, maka tak heran dia selalu menunggu WANGSIT dari Kyai Petruk untuk tindakan selanjutnya bila Gunung Merapi mengeluarkan gelagat mau meletus. Lewat Kyai Petruklah Mbah Maridjan sudah puluhan tahun menjadi Juru Kunci Gunung Merapi selalu selamat dari akibat letusannya. Selama ini memang sudah terbukti bahwa dimana Mbah Maridjan tinggal yaitu desa Kinahrejo selalu luput dari ancaman bahaya lahar panas atau Wedhus Gembelnya Merapi, desa yang konon termasuk desa kesayangan Eyang Merapi itu juga menjadi sebuah representasi dari sebuah suasana kehidupan yang serba nyaman dan tentram. Dalam bahasa Mbah Maridjan alias Raden Mas Panewu Surakso Hargo ini bahwa gejolak di Gunung Merapi diterjemahkan sebagai “eyang” yang melenggahinya sedang punya hajat membangun “keraton”. Mbah Maridjan yang pantang menggunakan istilah “Gunung Merapi meletus”, menjelaskan bahwa di saat eyang sedang punya hajat semua orang di lingkungan Merapi harus sabar, tabah dan tawakal.
Memang letusan Merapi tahun ini cukup hebat dan berlangsung cukup lama, konon Eyang Merapi tengah punya HAJAT BESAR yang dimulai sejak tanggal 10-10-2010 lalu. Untuk itu ia mengundang juru kunci Merapi sebagai wakil dari Keraton Jogjakarta untuk menghadap ke Keratonnya. Mbah Maridjan mungkin sudah menerima wangsit yang berupa "undangan" dari Eyang Merapi, maka ia tak beranjak untuk meninggalkan kediamannya demi menerima undangan sang penguasa Gunung Merapi itu. Desa Kinahrejo akhirnya menjadi sasaran letusan Gunung Merapi setelah sekian puluh tahun selalu selamat, dalam terawang mistik, Mbah Maridjan dijemput para pengawal Eyang Merapi untuk berangkat ke Keratonnya. Namun Mbah Maridjan tidak berangkat sendirian, ia juga "membawa" pengawal lengkap, mulai dari tenaga medis dari PMI, Wartawan dari Vivanews, Tentara Nasional Indonesia (TNI), juga warga biasa dengan berbagai profesi, yang meninggal bersama Mbah Maridjan saat itu. Meninggalnya Mbah Maridjan dalam posisi bersujud itu bisa ditafsirkan dari sisi mistik bahwa Mbah Maridjan memang tengah sujud kepada utusan Eyang Merapi yang mengundangnya. Sementara ahli Numerologi mempunyai catatan tersendiri tentang Mbah Maridjan ditinjau dari angka-angka kejadian, makna nama sang Juru Kunci berikut tanggal bulan dan tahun peristiwanya. Lepas dari cerita di atas, memang seluruh kepercayaan manusia Jawa terhadap gunung berunsur kepercayaan animisme dari zaman prasejarah sampai sekarang, termasuk kepercayaan tentang mahluk halus, roh leluhur yang mendiami macam-macam tempat adalah kepercayaan animisme. Walau demikian ada unsur positif dalam setiap ritual kepercayaan itu, bekerjasama menjaga alam dan seisinya sebagai salah satu amanat Tuhan Allah kepada manusia. Setiap Gunung mempunyai cerita mistisnya, alam raya menyimpan banyak misterinya, dan budaya Jawa melakukan ritual tradisinya sebagai unsur peninggalan nenek moyang yang tak lepas dari fungsi sebuah Keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa. Negara mawa tata, desa mawa cara artinya negara punya peraturan, desa dengan tradisinya. (Hari ini tepat pitung dinane Mbah Maridjan sedha, semoga arwahnya dan semua yang meninggal karena bencana tersebut diterima di sisi-Nya, amin).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H