Mohon tunggu...
edhy wiryanto
edhy wiryanto Mohon Tunggu... -

Mendidik sepenuh hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sarjana buat Ibu

28 September 2013   12:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:16 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sarjana buat Ibu

Aku harus memilih bekerja atau kuliah. Bekerja mendapatkan uang bisa membantu orang tua, sementara kuliah menguras uang orang tua. Kuliah itu, hanya mereka, anak orang kaya dengan harta melimpah.Kata itu selalu ada dipikiranku bertarung dengan kenyataan yang ada dihati. Membuatku ragu, galau, apakah dapat melanjutkan ke perguruan tinggi yang Kuimpikan Universitas paling tersohor di Kota Solo, Apalagi Aku hanya anak seorang petani dan pedagang sayur keliling.

Bayang-bayang itu terus menghampiriku dan menjadi tembok yang begitu tebal dan sulit untuk Aku taklukkan. Akupun tertidur di atas tikar, beranyamkan bambu warisan Kakek yang meninggal ketika usiaku baru sembilan tahun. Berselimutkan dinginnya angin malam dan gerimis rintih-rintih dan ditemani Jangkrik milik Adik di sudut kamar. Mengalahkan lagu favorit Peterpen di radio usang, dengan suara tidak sejernih air dan sudah dimakan usia.

****

Kesunyian berlalu dan pagi menyapa. Ayam tetangga bernyanyi seperti orkestra klasik yang merdu, disambut desiran angin dan embun pagi yang menyejukkan hari. Kejauhan terdengar azan subuh, memanggil dan mengema di penjuru bumi Allah. Assollatuqoirullminannaun, assollatuqoirullminannaun….. Umat muslim seluruh dunia pasti paham apa arti kalimat itu, kalimat yang bermakna luar biasa dan selalu diucapkan para muazin hingga akhir cerita hidup ini, aku sangat yakin akan hal itu.

Suara itu…!!! Aku kenal, Azan yang khas dari Kiai di Kampung sebelah, biasa dipanggil Pak Gino, kira-kira usianya 76 tahun. Sementara Aku, masih tetap di atas ranjang, bermalas-malasan karena dinginnya embun pagi.

“To, To, Yanto…!!!”

Tanggi wes suboh, Pak Gino wes adhan ayo ndhang tangi!!!!”

Ibu mencoba membanggunkanku yang sedang masak disebelah kamarku. Ibu memang muslimah yang taat menjalankan kewajibannya. Tidak berlebihan ketika waktu salat tiba, selalu mengingatkan anak-anaknya. Ibu akan marah ketika Aku dan Adik-adik telat salat.

****

Terlihat dengan jelas, asap hitam menerobas celah-celah atap dan keluar rumah, menari-nari di angkasa. “Hay anak muda…!!!! cepat bangun jangan sampai kau tinggalkan kewajibanmu, bangun!!!,” asap itu menggertakku.

“Enggeh Mak,”

Sahutku sambil merapikan tempat tidur, Aku keluar rumah dan berwudhu. Air pagi ini berbeda dengan biasanya, dingin kurasakan tulang-tulang membeku, mengalir dari ujung jari sampai ke ujung kaki. Mengaktifkan seluruh bagian tubuhku yang semalam istirahat, “Alhamdulillah,….” Ucapku pada sang pencipta. Memberikan kesempatan menjalankan kewajiban, sebagai seorang muslim salat subuh. Mendekat pada sang pencipta, sujud syukur berserah diri karena sudah dihidupkan kembali dalam tidur panjang, Aku bernyanyi dan berdoa atas nama Allah, dihembuskan mimpi-mimpi yang indah. Membuatku slalu mengingat akan kebesaran-Nya yang sering dilupakan dengan mudahnya, mementingkan dunia dan membutakan mata hati manusia.

Berjalan tanpa alas kaki Aku mendekat Ibu, terdengar suara dukkk,dukkkk,dukkkkk,dukkkkk.

Ternyata Ibu sedang menumbuk daun singkong di batu besar yang berlubang dengan sebatang kayu. Orang kampung biasa menyebutnya lumpang, entah dari mana asal nama itu.

Aku tidak perdulikan karena nama itu pemberian turun temurun dari Kakek Nenek. Hampir setiap rumah dikampungku memiliki alat tumbuh itu. Aku yakin alat itu usianya lebih tua dari orang tuaku, bahkan dari Kakek Nenekku.

“Mak, semalem Kulo mikir-mikir. Kulo mathuke kerjo utowo kuliah. Kerjo, mboten ngrepotke Bapak lan Ibu. Seumpomo kuliah pripun? Ibu sanggup ngraggati kuliahku.”

****

Berjalan menuju sudut dapur menggambil kayu bakar, Aku masukkan ke dalam tungku batu bata susun yang menghitam.

Suasana hening Aku terdiam, memandang bara api yang menyengat kulitku dan terdengar suara air mendidih. Mengingatkan kalau perkataanku tadi benar-benar membuat sedih Ibu, sepertinya sang api tidak rela orang yang menghidupkan mereka disakiti dan berpesan kalau Aku harus melihat kenyataan bahwa Aku itu anak kampung. Tidak pantas untuk kuliah, perguruan tinggi itu hanya untuk orang-orang yang mampu dan berkecukupan.

Jangan bermimpi sekolah yang tinggi, hanya merampok orang tua. Kuliah hanya bersenang-senang, sementara orang tua banting tulang di Kampung. Menguras keringat, bertarung dengan sang mentari setiap hari demi anaknya yang dikira belajar dengan rajin di kota.

Terlihat Ibu yang sedang memotong-motong cabai dan bawang merah meneteskan air mata. Memancarkan cahaya kehidupan yang penuh dengan makna, Aku lihat air mata itu hatiku bergetar dan jantungku berdetak semakin kencang. Aku tidak tahu air mata apa ini, entah karena mendengar perkataanku yang menginginkan kuliah atau kenapa? Seribu pertanyaan ada dalam diri, Aku terdiam dalam kesunyian, mencoba memahami, merasakan dan menerima semua akan ada jawaban karena semuanya pasti ada arti dan tidak akan pernah berhenti.

****

Ibu keluar sambil mengusap air mata, membuat Aku semakin bertanya-tanya. Apa yang sedang dipikirkan Ibu? Apakah Ibu tidak mau, kalau Aku melanjutkan kuliah? Menginginkan supaya bekerja seperti teman-teman merantau ke Jakarta. Pulang bawa uang membeli motor baru dan menunjukkan kepada para tetangga. Anakku sudah sukses bisa membeli motor sendiri tidak menyusahkan orang tua. Menjadikan air mata ini semakin berat ditahan, menetas semakin deras dan hati semakin sesak. Demikian halnya air yang dimasak Ibu, keluar sendiri seperti memahami apa yang aku rasakan dan ingin berbagi kesedihan.

Sepuluh menit kemudian, Ibu datang membawa potongan kayu bakar yang diambil dari belakang rumah. Kayu bakar memang digunakan keluargaku untuk memasak. Sebenarnya ada kompor dari kakak, tapi Ibu perpendapat kalau menggunakan kayu bakar bisa kenapa harus menggunakan kompor, Lebih baik dimanfaatkan untuk uang saku anak-anaknya dan keperluan lain dari pada membeli minyak tanah.

Duduk dikursi yang ada di sampinku dengan sorotan mata yang tajam, Ibu memandang penuh dengan keyakinan.

“Nak, Ibu ora penggen anakku dadi petani, Ibu penggen anakku kabeh dadi pegawai. Masmu wes urip penak nang Kalimantan. Apa kowe ora pengen koyo Masmu!”

Mendengar perkataan Ibu, Aku yakin kalau Ibu setuju untuk melanjutkan kuliah. Pilihan Ibu memang luarbiasa, walau sekolah dasar tidak lulus, membaca tidak bisa. Kalau berbicara tentang pendidikan untuk anak-anaknya, nomor satu di Kampung.Aku dekati Ibu memandang dengan penuh harapan supaya benar-benar meyakini bahwa Ibu mampu untuk membiayai kuliah, Aku dan Ibu saling memelukku dengan eratnya.

“Mak, matur nuhun.”

Dengan mengelus-elus keningku Ibu menyampaikan pesan kepadaku,

“Nak, Mae penggen anak-anakku pinter, seng bodho Pae karo Mae ora popo. Kepinteran iku seng nduwe kowe, yo kudhu digunakne seng Bener. Ora dienggo ngapusi lan nyolong seng dudu hakmu. Dimanfaatke kanggo masyarakat lan mbanggun negoro”

“Enggeh Mak,” jawabku. Aku berjalan ke luar rumah dengan bola mata yang berkaca-kaca, memandang langit subuh yang cerah dan terlihat jutaan bintang. Pancarkan cahya, menyilau dan bergantian untuk berpesan kepadaku, harus sungguh-sungguh belajar jangan sampai mengecewakan Ibu.

****

Tiga tahun sembilan bulan aku kuliah di Universitas negeri impian. Susah senang Aku rasakan, saat ini Aku sedang menyelesaikan tugas akhir menyusun skripsi. Teman-teman mengatakan, tugas ini menyusahkan mahasiswa. Apalagi mendapatkan dosen pembimbing yang memiliki pemikiran yang tidak sejalan. Pasti membuat pusing, Aku tidak begitu mempermasalahkan itu karena yang Kubutuhkan adalah semangat dan doa, berpasrah setelah berusaha penuh dengan keyakinan.

Besok hari Senin 16 April 2012, Aku ujian demikian juga Adik-adikku di SMA. Aku yakin dengan kemampuanku, kalau apa yang Aku kerjakan itu maksimal dan bisa menyelesaikan tugas akhir ini.

****

Ibu Aku ingin mendapatkan gelar itu!!! Gelar sarjana yang ketiga dari anak-anakmu tercinta, Alan Kusumo, S. Pd., Rina Hidayati, S. Pd., danYanto, S. Pd., dan hari itu benar-benar Aku impikan Kamis, 7 Juni 2012. Ku persembahkan kepadamu yang telah bekerja keras membiayai kuliahku, sarjana buat Ibu. Terima kasih Ibu…!!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun