Membangkitkan Kebanggaan Minoritas
Pak Jokowi yang Terhormat
INI surat terbuka saya yang kedua kepada Bapak dalam dua pekan terakhir. Saya memilih bentuk surat terbuka karena rasanya lebih dekat, lebih familiar, lebih akrab dan tidak berjarak. Kalau rakyat merasa dekat dengan pemimpinnya menurut saya itu adalah modal awal yang baik.
Hari Selasa esok (22/7) menjadi hari bersejarah karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menetapkan Presiden terpilih 2014-2019. Hasil quick count pemilihan presiden (pilpres) pada 9 Juli sudah menetapkan Bapak sebagai presiden dan Pak Jusuf Kalla sebagai wakil presiden. Mudah-mudahan KPU tak bergeser dari itu.
Terus terang, perkembangan dua hari terakihir membuat saya merinding. Merinding karena kemarin (Sabtu,19/7) dan hari ini (Minggu 20/7) saya membaca di sejumlah media online dan media cetak bahwa pada Sabtu (19/7) Bapak menemui pimpinan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI). Di Kantor KWI Jalan Cut Mutiah Jakarta Pusat, Bapak diterima Ketua KWI Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo dan pengurus lainnya, sedangkan di PGI Jln Salemba Raya, Bapak diterima Pdt Yewangoe dan pengurus lainnya.
Bapak beralasan mendatangi para pemimpin gereja itu untuk bersilaturahim karena semua pihak telah berperan serta dalam menciptakan pilpres yang tentram dan damai.
Pekan sebelumnya Bapak mendatangi dua organisasi Islam terbesar yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) juga di kantor mereka masing-masing.
Pak Jokowi. Saya dan jutaan orang Katolik dan Kristen kaget sekaligus mengagumi keputusan Bapak mendatangi Kantor KWI dan PGI. Kami tentunya tidak kaget ketika Bapak mendatangi Kantor Muhammadiyah dan Pengurus Besar NU (PBNU), karena memang dua organisasi itu sudah sepatutnya dikunjungi karena mereka merepresentasikan mayoritas warga di negeri ini. Sebagai kaum minoritas kami sama sekali tidak cemburu, tidak iri dan tidak sakit hati.
Menurut catatan saya ini baru pertama kali dalam sejarah seorang Presiden terpilih (walau masih versi quick count) mendatangi organisasi keagamaan kaum minoritas sebelum dilantik. Ini menjadi sejarah baru yang pasti dicatat oleh sejarah gereja-gereja di Indonesia. Sebelumnya memang sudah sering Presiden menerima wakil pemimpin agama kelompok minoritas setelah pelantikan. Tempatnya pun di Istana Presiden, tempat yang menjadi simbol kekuasaan negara.
Tetapi Bapak melakukan hal sebaliknya. Bapak mendatangi pemimpin agama minoritas di kantor mereka masing-masing. Bapak sama sekali tidak berharap mendapatkan dukungan suara dari kelompok minoritas, karena pemilu telah lewat. Kunjungan itu menjadi simbol bahwa Bapak sangat menghargai dan menjunjung pluralisme. Bapak sangat mengapresiasi dan menghargai peran setiap orang, setiap komunitas betapapun kecilnya. Bapak tidak mengabaikan peran para pemimpin masyarakat dan pemuka agama.
Terus terang, kunjungan Bapak ke KWI dan PGI juga meneguhkan derajat kami sejajar dengan saudara-saudara kami yang Muslim. Kami tidak merasa lebih rendah dari saudara-saudara kami yang Muslim, dan saudara-saudara kami yang Muslim seperti biasanya tidak merasa lebih tinggi dari kami. Hanya kami yang kadang-kadang merasa minder karena menjadi minoritas. Namun kunjungan Bapak ke KWI dan PGI memulihkan kembali rasa rendah diri kami, membangkitkan rasa kesamaan hak di bumi pertiwi ini.
Saya percaya, dalam pemerintahan Bapak nanti, tidak ada kasta-kasta berdasarkan agama, etnis, suku dan lainnya. Bapak berpedoman pada UUD 1945 yang memperlakukan setiap warga negara sama di depan hukum. Seperti dalam surat saya terdahulu bahwa Bapak menilai kinerja seseorang aparatur dari kinerjanya, bukan dari agamanya seperti yang terjadi dalam kasus Lurah Susan di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Pak Jokowi, Kunjungan Bapak ke KWI dan PGI membuat saya membuka catatan-catatan lama saya. Dalam hubungan pergaulan internasional, hampir semua Presiden Indonesia pernah berkunjung ke Vatikan, markas Pemimpin Umat Katolikse Dunia. Bahkan Presiden Pertama, Proklamator dan Bapak Bangsa, Bung Karno sebanyak tiga kali berkunjung ke Vatikan menemui Paus. Pada kunjungan tahun 1956, Bung Karno diterima Paus Pius XII, pada tahun 1959 Bung Karno diterima Paus Yohanes XXIII dan pada tahun 1964 Bung Karno diterima Paus Paulus VI.
Presiden Soeharto juga berkunjung ke Vatikan pada tahun 1972. Presiden BJ Habibie tercatat tidak berkunjung ke Vatikan. Namun Presiden Abdurrahman Wahid meski masa pemerintahannya hanya berusia dua tahun, dia mengunjungi Vatikan dan diterima Paus Yohanes Paulus II pada tahun 2000. Presiden Megawati Soekarnoputeri pun dalam masa pemerintahan 3 tahun, juga berkunjung ke Vatikan dan diterima Paus Yohanes Paulus II pada 10 Juni 2002. Itulah pertemuan terakhir seorang Presiden Indonesia dengan Pemimpin Umat Katolik se Dunia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meski selama 10 tahun berkuasa tidak pernah berkunjung ke Vatikan. Setiap Presiden dan pemimpin di manapun di dunia ini tentu mempunyai prioritas mengunjungi negara-negara sahabat. Ada alasan-alasan tertentu membuatnya mengunjungi sebuah negara dan ada alasan-alasan tertentu pula yang membuatnya tidak mengunjungi sebuah negara. Kita tidak tahu alasan Presiden Yudhoyono tidak menjadikan Vatikan sebagai salah satu negara yang patut dikunjungi selama 10 tahun memimpin negeri ini.
Selama Indonesia merdeka, dua Paus telah berkunjung ke Indonesia yakni Paus Paulus VI pada tahun 1970 dan Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1989. Kunjungan Paus Yohanes Paulus II cukup lama karena selain mengunjungi Jakarta, dia juga ke Medan, Yogyakarta, Maumere (Flores) dan Dili, Timor Timur yang saat itu menjadi provinsi bagiandari Indonesia.
Bapak Jokowi yang saya hormati. Saya tidak tahu ke depan nanti setelah Bapak dilantik menjadi Presiden pada 20 Oktober (kalau KPU memutuskan demikian), apakah juga akan menjadikan Vatikan sebagai salah satu negara yang akan Bapak kunjungi. Saya juga tidak tahu apakah Bapak akan mengundang Paus untuk berkunjung ke Indonesia. Semuanya tentu Bapak akan rencanakan dan bicarakan dengan tim Bapak.
Sore ini (Minggu 20/7) saya gembira karena Presiden Yudhoyono telah memprakarsai buka puasa bersama yang dihadiri juga oleh dua pasang capres-cawapres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Jokowi-Jusuf Kalla. Buka puasa dan silaturahim ini sangat penting terutama untuk mencairkan suasana di masyarakat terutama menyambut penetapan hasil pilpres oleh KPU pada Selasa 22 Juli. Presiden SBY mengimbau agar semua pihak menerima hasil pilpres dengan sukacita dan lapang dada.
Saya juga gembira karena Bapak telah menginstruksikan semua pengikut dan relawan agar tidak turun ke jalan atau pun ke KPU pada 22 Juli. Semua tetap berada di tempat masing-masing dan memantau KPU tanpa selebrasi berlebihan. Juga Pak Prabowo telah menginstruksikan pendukungnya agar tetap tenang dan tidak boleh ada kekerasan pada 22 Juli. Saya bangga dengan sikap kenegarawanan Anda berdua.
Semoga dalam satu dua hari ini semuanya berjalan lancar, tidak ada kendala yang berarti serta semua pihak dengan lapang dada menerima hasil pilpres sesuai harapan Presiden SBY. Siapapun yang menang adalah kemenangan rakyat...rakyat semuanya tanpa sekat-sekat primordialisme..rakyat Indonesia harus menang. Demokrasi kita harus berjalan ke depan. Saya yakin itu yang Anda berdua, Pak Prabowo-(Hatta) dan Jokowi-(Jusuf Kalla), perjuangkan selama masa kampanye tempo hari.
Selamat.
Salam
AW
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H