Beriring dengan fajar pagi ini dan udara yang masih cukup sejuk hanya satu keinginanku. Mencium punggung tanganmu, Ibu. Seraya mengucapkan terima kasih dan penghormatan yg mendalam.Dan kemudian memeluk erat dan hangat. Tak terbilang sudah yang engkau berikan padaku. Tiada rasa sayang yang mampu menggantikan rasa sayang dan belaian kasih selain darimu. Bukan terbatas bahwa dirimulah yang mengandungku di rahimmu yang amat kokoh selama sembilan bulan. Tapi juga mengutas nyawa ketika 'menghadirkan'ku ke dunia fana ini. Sungguh kemuliaan bagimu, Ibu. Belum lagi terhitung betapa keikhlasanmu untuk menggendongku, sambil menyusui untuk sekian waktu. Lalu menyuapi makan sehari-harinya, dan aku tumbuh! Belum lagi ketika aku sakit. Dirimu tak pernah menyerah dan putus asa, sabar merawatku. Dirimu juga mengajari aku merangkak, menitah dan belajarkan melangkah. Satu langkah, dua langkah hingga langkah kaki saat ini. Membimbingku siang dan malam. Belajar bernyanyi bersama, mengeja huruf-huruf alphabet dan terpenting adalah dirimulah yang mengajarkan mengenalkan huruf-huruf hijaiyah sedini mungkin. Jelas sekali, huruf-huruf hijaiyah itu selalu kita lafalkan bersama, usai maghrib. Bertahun-tahun lamanya. Bagai tetesan air, setiap hari tanpa lelah dirimu menuntunku. Dari huruf hijaiyah itu kemudian membelikan sarung biru kotak-kotak yang bagus. Engkau berikan agar aku mengerti sebuah kewajiban untuk menjadi seorang lelaki. Kewajiban untuk menjadi imam di suatu waktu nanti. Dan masih terekam, bagaimana aku diajarkan di usia 4 tahun untuk menunaikan sholat Jumat di masjid, yang kala itu sangatlah terasa berat.Aku diwajibkan untuk berjalan kaki di terik panas siang hari dengan jarak yang cukup jauh bagi seorang anak balita. Duhai Ibuku, aku tak membayangkan apa jadinya jika aku tidak dilahirkan bukan dari rahim-mu. Sungguh karunia terbesar dalam hidup ini. Dari perkara mengeja huruf, melangkahkan kaki untuk sholat Jumat hingga menghatamkan Al Qur'an menjelang tamat sekolah dasar dan serta panduan2 ibadah hingga sebuah Kitab Fiqh tidaklah kudapati selain dari Ibu. Dirimulah 'Guru Sejati'ku. Waktu berjalan meski merambat tapi terasa cepat. Terlalu cepat dari apa yang kita bisa rasakan.Masih sangat ku ingat, tepat setahun lalu. Ketika kita berdua masih sempat minum kopi bersama di pagi hari, kantin sebuah rumah sakit.Nikmat sangat bisa bercengkerama bersama-sama saat itu. Saat itu Ibu baru saja berjuang untuk menyelamatkan dan mengambil tindakan yang sangat cepat dan tepat untuk melarikan seorang cucumu, Bintang El ' Justicia (anak dari adik bungsu). Naluri seorang Ibu yang sungguh tajam, terbukti untuk kesekian kalinya. Kami semua tidak membayangkan jika saja terlambat saat itu. Usai salam shubuh'mu, engkau segera melarikan cucu tercinta ke sebuah UGD sampai-sampai tidak mempedulikan bahwa masih mengenakan kain sarung dan tanpa alas kaki. Itulah dirimu, Ibu. Masa-masa sekolahku juga bisa kulalui berkat bimbingan serta doa'mu. Tidak pernah terlewatkan 'segelas air putih' darimu untuk mendampingiku ketika akan menjalani ujian-ujian yang terasa bagai 'medan pertempuran' tetapi berubah menjadi taman bermain yang indah dan menyenangkan. Betapa Ibu telah menunjukan kepadaku, bagaimana ilmu itu adalah perisai. Ketika aku serta anak-anakmu telah menyelesaikan sekolah hingga ke tingkat yang tinggi, barulah dirimu menunjukkan semangat bagai api yang menyala-nyala untuk masuk kembali ke kelas. Tiada malu dan ragu duduk bersama teman-teman yang seusia dengan anak-anakmu. Sekali lagi dirimu menunjukkan suatu kemuliaan, ketika kami bisa menghadiri Wisudamu, Ibu. Engkau relakan pendidikanmu tertunda hanya untuk melahirkan, merawat, membesarkan dan mengantarkan kami, anak-anakmu hingga ke Pintu Gerbang Kehidupan. Kemudian dirimu baru kembali ke kursi pendidikan untuk menimba ilmu kembali. Sungguh tauladan dari apa yang aku sering dengar, tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat. Banyak orang kala itu disekitar kita bertanya-tanya, untuk apa Ibu kuliah lagi? Apa yang Ibu cari? Gelarkah? Statuskah? Prestige-kah? Sungguh Ibu tidak pernah menepis pertanyaan-pertanyaan itu dengan kata-kata. Ibu hanya menjawab dengan sebuah ketekunan dan kepatuhan. Hingga akhirnya kami dan orang-orang sekitar bisa mendapatkan jawabannya sendiri-sendiri. Ibu, rasanya tidak akan pernah habis kata-kata ini untuk menyampaikan rasa rinduku. Kini jarak terentas sudah. Ribuan kilometer dirimu berada. Terpisahkan oleh bentangan samudera dan benua. Dan itu semata-mata untuk menunjukkan kepadaku (dan kami), betapa tiada letih dirimu menjalani kewajiban sebagai seorang isteri. Meski suka dan duka selalu menyertai pengabdianmu pada seorang suami, Ibu selalu tunjukkan kekuatan dan ketabahan yang tak tertandingi. Tegar dalam berbagai situasi. Ikhlas setinggi awan.Tiada keluh kesah atas perjalanan hidup ini. Selalu untaian puji syukur yang engkau tunjukkan dan perlihatkan. Tak pantas diriku mengaku-ngaku sudah berbakti kepadamu. Aku sadar meski belum bisa membahagiakannmu tapi aku selalu berusaha untuk tidak pernah membuatmu bersedih. Itu saja. Di pagi hari ini, matahari seperti enggan menampakkan diri. Anginpun senyap, hanya sesekali berhembus. Burung-burung pun enggan berkicau. Semakin hari semakin terasa, betapa hidup ini terlalu singkat. Yah, terlalu singkat untuk kita sia-siakan. Dirimu telah mengajariku, jadikanlah hidup ini tidak hanya untuk dirimu saja tetapi bisa bermanfaat untuk orang lain. Seperti yang terpampang di account facebookmu, "sebaik baik manusia adalah yg dapat memberi manfaat pada sesama". Aku tahu, bahwa itu bukanlah sekedar kata-kata untuk dipasang sebagai pemanis. Aku tahu, sungguh bagaimana sepak terjang Ibu dalam bidang kemasyarakatan selama ini. Sungguh Ibu, ajari aku terus akan makna kata-kata itu. Agar aku bisa berbuat seperti dirimu. Paling tidak sedikit saja, sepertimu. Ibu, ketika tulisan ini kutorehkan mataku penuh dengan butiran-butiran air mata yang tak tertahan. Pagi ini betapa bahagia kuterima begitu banyak ucapan selamat ulang tahun dan doa-doa dari sahabat serta saudara-saudaraku tercinta. Itu semua kupersembahkan juga kepadamu sebagai pengganti rasa terima kasihku. Hormatku untuk dirimu tak akan pernah habis. Cuma keridho-anmulah yang mampu menguatkan perjalanan hidupku untuk terus melangkah. Ridho Ibu adalah ridho Allah SWT jua, juga bukan sekedar kata-kata. Aku telah mendapati bukti-bukti ke-AgunganNya berkat ridho-mu. Ibu, izinkan aku menutup surat ini dengan doa yang pernah Ibu ajarkan di saat aku masih sekolah TK “Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa” (Artinya,“ Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan sayangilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka telah memelihara / mendidikku sewaktu aku kecil.”) Sembah sujud untuk wanita yang termulia dalam hidupku. Sungkem utk Bapak ya Bu. Aku juga bangga dengan dirinya. Ananda Akung. Jakarta, 28 Januari 2011.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H