Hati tuan baginda gundah gulana. Hari-hari ini ia semakin tak nyaman bekerja. Semua mata, semua kata, semua peristiwa melingkar-lingkar menohok jantung  dan menyergap isi kepalanya.
Hati tuan paduka semakin miris, seluruh anak negeri yang semula membesarkan hatinya, tiba-tiba berbalik bagai gelombang stunami yang memorak porandakan keyakinan dan rasa percaya diri raja.
Hati tuan paduka sunyi sesunyi-sunyinya. Setiap langkah kakinya diliputi kegamangan, setiap ucapannya terasa  berat di mulut dan kepala, karena pergumulan perang batin dirinya sangat luar biasa.
Hati tuan baginda remuk redam. Bara api ciptaanya sendiri makin membesar membakar seisi istana. Api yang mewujud tidak semata api. Ucapan dan tindakan para punggawa menyala api. Pohon-pohon dan rumput istana menyala api, para penasehatnya menjulur api, banjir air menjelma api.
Hati tuan baginda hancur lebur. Didalam kerumunan para dayang, ia  merasakan sepi seorang diri. Di tengah perlindungan pasukan keamanan, ia merasa moncong senjata menghujam ulu hati.
Kesedihan hati paduka tiada terperi. Tak ada yang bisa menghibur baginda, selain dirinya sendiri. Baginda merasa ingin segera mati. Paduka ingin mati bunuh diri.
Akan tetapi baginda lupa, bahwa hari ini ia telah mati dari hati ralyatnya sendiri. Baginda lupa bahwa ia telah menggali kuburnya sendiri, yang sejak itu pula ternyata rakyat langsung beramai-ramai menguburnya tanpa paduka sadari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H