Mohon tunggu...
Syamsul Arifin
Syamsul Arifin Mohon Tunggu... lainnya -

Ketua Kelompok Musik Gamelan Jamus Kalimasada Lampung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Esai

11 Februari 2015   01:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:28 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

BALADA NEGERI PANDIR

Idiom Indonesia Bangkit – Indonesi Hebat, sama-sama mengidealkan keinginan luhur dan cita-cita mulia agar bangsa ini hadir sebagai negara yang berwibawa. Kewibawaan negara yang dimanage oleh kepemimpinan yang menjamin kemerdekaan rakyat menyuarakan aspirasi dan terjamin hak konstitusionalnya, menggaransi perbaikan nasib kesejahteraan seluruh warganya, dan menyalanya sumbu-sumbu api demokrasi, serta kesanggupan mengerek merah putih berkibar kokoh di langit Nusantara.

Kebangkitan dan kehebatan Indonesia yang digadang-dagang itu  apakah sudah bersenyawa dengan political will kepengasuhan nasional secara signifikan? ketika realitanya halaman sejarah negeri kita ternyata lebih banyak dikotori oleh sampah-sampah ambisi dan syahwat politik antar  kelompok dan golongan?

Nyatanya, kita adalah bangsa besar yang tak pernah berhenti dililit  segudang masalah besar dan juga dibayangi kegelapan hari depan yang  dihululedaki oleh penyakit warisan  sejarah masa  silam,  maupun warisan penyakit yang telah dicadangkan untuk dipanen anak-anak generasi mendatang.


Setiap upaya bangkit dari keterpurukan, tangan diborgol oleh kecurigaan, kaki diserimpung oleh kekuatan-kekuatan yang saling menghancurkan. Setiap jalan keluar hanya produksi keputusan-keputusan yang saling bertabrakan. Perkumpulan-perkumpulan hanya berlomba mempertontonkan kepicikan dan kelicikan.

Adakah paradoks-paradoks tersebut merupakan takdir kutukan sejarah berulang tanpa ada kemungkinan bisa terampunkan? Apakah penyakit, de-konstitusional, de-konsistensional, dan anomali-anomali sosial akan  selamanya tak bisa disembuhkan? Apakah kedigjayaan bangsa kelak hanya akan berupa torehan sejarah kelam yang bernama kegagalan demi kegagalan?

Kehormatan bangsa besar ini diruntuhkan sendiri oleh tabiat dan karakter kepemimpinan yang bermental kerdil dan ambigu. Kasus-kasus besar yang datang silih berganti tidak pernah tuntas penyelesaiannya. Problem-problem rumah tangga kenegaraan  yang multi kompleks hanya dijawab oleh retorika-retorika politik pencitraan. Tak pelak, halaman sejarah yang seharusnya ditanami benih-benih kesejahteraan, malah disesaki fitnah dan ghibah.

Semua pihak tidak memiliki padatan acuan nilai yang seharusnya diperjuangkan bersama oleh segenap elemen bangsa. Sebaliknya setiap gejala, fenomena dan dinamika ujung-ujungnya terjerembab ke jurang kebuntuan.

Barangkali inilah  balada negeri pandir. Hanya di negeri pandir, persoalan  terang benderang dibuat runyam. Pranata hukum dan segenap aturan  yang telah jelas-jelas rigit mengatur masing-masing  bidang urusan kepenyelenggaraan negara, pelaksanaanya dibuat remang-remang  untuk memaksakan keinginan dan kepentingan pribadi maupun golongan.

Di negeri pandir, inti persoalannya bukan karena tak mampu menegakkan peraturan, akan tetapi segaja tidak mau berdiri dan taat pada aturan, sebab isi kepala hanya dipenuhi muslihat bagaimana menangguk keuntungan, bagaimana mengorganisir kekuatan, bagaimana mencapai kemenangan, masa bodoh dengan nilai-nilai kebenaran.

Di negeri pandir, orang-orangnya pintar-pintar tetapi otaknya bebal dan hatinya tumpul tertutup kegelapan ambisi pribadi maupun golongan, untuk melestarikan pencengkeraman atas asset-asset startegis kekuasaan, politik, maupun ladang-ladang ekonomi.

Di negeri pandir, silih berganti penguasanya hanya bergiliran antar para pendusta. Kebijakan maupun program kerjanya bongkar pasang sesuai selera, bertabrakan sana-sini secara serampangan. Ketika badai datang menerjang, rapuh terombang-ambing, bimbang dan selalu lamban mengambil keputusan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun