Kebodohan terus berulang sejalan dengan ketamakan. Semakin membubung nafsu menyundul-nyundul langit khayal, semakin tinggi pula kebodohan bercokol di dada, dan semakin wantah mengejawantah di tindakan.
Kebodohan bukan semata disebabkan oleh kebodohan itu sendiri. Tetapi kebodohan malah banyak mencengkeram diri orang yang sesungguhnya pintar. Kepintaran yang  dikelola tanpa empan papan, sehingga hasilnya justeru memproduksi kebodohan demi kebodohan. Kebodohan semacam ini identik dengan kebebalan, berotak pintar tetapi bebal alias pandir.
Betapa rumit membedakan sikap dan tindakan orang-orang pintar yang terbebas dari tendensi kepentingan, dengan sikap dan tindakan yang benar-benar diniati oleh semangat dan keinginan memperbaiki keadaan atau menyelesaikan suatu permasalahan. Orang pintar yang paling memiliki kemungkinan seribu akal untuk melakukan akal-akalan.
Katakanlah seseorang sangat cukup syarat dan rukun disiplin keilmuannya, tak diragukan lagi derajat dan martabat sosialnya, serta telah tamat ‘ijazah’ tinggi moralitas dan akhlaq keagamaannya. Akan tetapi di lapangan sepak bola sejarah, siapa yang bisa menjamin seseorang dapat benar-benar steril dari kejumudan maupun kekedirlan mental, yaitu kesombongan, keangkuhan, kecongkakan?
Padahal jika kaki terkilir saja sudah tak bisa menyangga tubuh dengan normal. Apalagi kalau otak yang sakit, seluruh struktur organ tubuh pun akan tersandera mengerjakan sunatullahnya. Masalahnya kita juga terlalu gampang menggurui diri sendiri, sehingga akhirnya kita terjebak pada realitas sok semuci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H