Mohon tunggu...
Elizza Yuliantari
Elizza Yuliantari Mohon Tunggu... Lainnya - Perempuan

Dalam perpisahan senja lebih bijaksana Ia pergi dengan keindahan sedang kita berpisah tapi masih bersatu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Angin Apa Ini? Dinginnya Seperti Sembilu

7 Mei 2024   01:10 Diperbarui: 7 Mei 2024   01:42 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah anakku tertidur dan selesai bertanya tentang segala hal yang melintas di benaknya kini saatnya aku menarik secarik kertas menorehkan beberapa untaian kalimat tentang hari ini. Menjelang dzuhur tadi pagi Senin 6 Maret 2024 adik bungsu menelpon menggunakan nomor Bapakku. Sebelumnya ia mengirimkan sebuah video pendek kondisi ibuku yang sedang dipasang infus. Saat ditelfon ibuku hanya mengatakan "mamak meriang Lis" Baca Mamak sakit Lis Sambil mata terpejam. 

Aku pun berusaha tegar melihat kondisi ibuku yang terbaring lemah yang tampak sekali ingin lelap tertidur. Aku berusaha tenang dan menghibur serta tidak lupa mendoakan kesembuhan mamak ku. Telfon ditutup, aku pun berusaha mengalihkan perhatianku dengan beberes rumah dan memeriksa gawai. 

Sudah Asar waktunya menjemput putriku sekolah. Sebelum sampai sekolah aku mampir ke warung sayur. Saat aku hendak memasukan buah Pir ke dalam keranjang telfonku berdering. Di ujung sana kakakku sudah sesenggukan menangis dan mengatakan mamak wis gak ono Lis.

"Oh Iyo mbak, tak njemput bar kui langsung mangkat"  Baca oh iya mbak, aku menjemput dulu, setelah itu langsung berangkat. Setelah telfon ditutup aku memeriksa pesan dari adikku beberapa menit sebelumnya menyuruhku untuk membeli tiket pulang dari Yogyakarta menuju Brabasan Mesuji Lampung. 

Aku langsung mengirim pesan kepada suamiku. 

"Mamakku meninggal".

Aku menjemput putriku dan mengatakan kalau kita mah ke Lampung, Mbah Yati meninggal. 

" Nanti aku harus ijin dong ga berangkat sekolah"

Aku pun mendengar celotehan anakku sepanjang jalan pulang dengan pikiran yang rapuh dan tidak fokus. Putriku baru 6 tahun, sepertinya ia belum mengerti benar apa itu makna perpisahan dari kematian. 

Karena beberapa hari yang lalu ia baru saja bertanya tentang Bu Sis, Ibu sayur langganan kami yang sudah meninggal saat putriku usia 3 tahun. Ia bertanya:"Mah bu Sis sekarang di surga apa lagi ngapain" Tanya anakku sambil memegang rambutnya membayangkan jembatan shirot yang seperti rambut dibelah tujuh. 

Angin yang menerpa wajahku sore ini terasa dingin dan memilukan. Aku berharap kabar ini hanya kabar angin, ternyata bukan. Kabar ini nyata adanya. Hari ini aku telah menjadi piatu dan penyesalan yang bergumul di dadaku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun