Sebuah konflik dapat terjadi apabila terdapat perbedaan pemahaman diantara dua orang ataupun lebih terhadap sebuah ketegangan, kemudian perselisihan dan kesulitan diantara pihak-pihak yang tidak memiliki paham yang sama. selain itu konflik dapat memicu adanya suatu sikap yang bersifat oposisi antara kedua belah pihak yang dimana keduanya memandang satu sama lain sebagai penghalang atau lawan yang dapat mengganggu dalam mencapai tujuannya masing-masing. Salah satu konflik yang muncul dan mengakibatkan konflik berkepanjangan adalah konflik antara Perguruan Pancak Silat yang berkembang di Madiun. Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan juga Setia Hati Winongo (PSHW) merupakan sebuah perguruan yang dulunya bersama didirikan oleh Ki Ngabehi Soero Diwiryo yang berasal dari Madiun dengan nama Joyo Gendilo Cipto Mulyo tepat pada tahun 1903 dan kemudian berganti menjadi Setia Hati. Puncak dari konflik antara PSHW dan PSHT ini bermulai pada saat terjadinya pertentangan ideologi ketika pendiri dari Setia Harti meninggal dunia pada tanggal 10 November tahun 1944 di usianya yang ke 75 tahun dan dimakankan di desa Winongo Madiun.
Konflik antara Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan juga Setia Hati Winongo (PSHW) bermulai pada saat dua murid kesayangan dari Ki Soero Diwiryo melulai pemecahan dari Setia Hati yang kemudian terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Ssetia Hati Winongo yang masih atau tetap berpusat di Kelurahan Winongo sedangkan Setia hati Terate berpuat pada daerah Pilangbango Madiun. sehingga pada akhirnya konflik yang siebabkan oleh kedua murid tersebut merambat sampai kepada rasa penuh dengan kebencian. konflik ini terjadi karena kedua perguruan yaitu PSHT dan PSHW saling mengklaim bahwa nilai ideologi yang benar dan juga yang paling baik adalah masing-masing dari perguruannya. aliran-aliran Setia Hati yang lahir terjadi karena terdapat perbedaan pandangan terkait dengan prinsip dan juga strategi dalam mengembangkan perguruan tersebut. perbedaan diantaranya adalah Ki Ngabehi mengembangkan aliran Setia Hati dengan prinsip yang ia miliki.
Berbeda dengan Ki Hadjar Hardjo Oetomo yang mendirikan persaudaraan Setia Hati terate karena ia merasa dengan itu nantinya akan lebih bisa diterima dikalangan masyarakat luas dan lebih moderat dan pengasuh dari Perguruan Setia Hati Tunas Muda Winongo yaitu R Djimat Hendro Soewano yang berusaha untuk mengembangkan diri dan prinsipnya ini berbeda dengan prinsip persaudaraan oleh Setia Hati Terate yang ingin menerapkan sistem tradisi lama. Maka dari itu terjadilah konflik persaudaraan diantara keduanya. Konflik ini sering pada puncaknya yaitu ketika pada tahun baru islam, karena PSHT dan PSHW berasal dari satu guru yang sama, adat yang sama itu adalah, adat ziarah ke makam pendiri dan sesepuh.
Lantas, konflik berkepanjangan ini mendapat perhatian masyarakat di seluruh Indonesia, terutama khususnya di wilayah Madiun. Banyak resolusi konflik yang di usulkan untuk mengatasi konflik antara PSHW dan PSHT sendiri. Salah satunya adalah dengan memperketat pengamanan saat tahun baru islam.
Namun, bagaimana konflik ini bisa bertransformasi menjadi sebuah resolusi yang preventif? Konflik preventif sendiri bisa di transformasikan menjadi budaya, kolaborasi budaya antara PSHT dan PSHW bisa dilakukan dengan cara, menyelenggarakan acara budaya sebagai langkah preventif, yaitu dengan menggabungkan acara budaya pencak silat pada saat tahun baru islam, dengan memperkenalkan budaya dari kedua perguruan pencak silat tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI